Kulek Terakhir, Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong - Part 2
Bab I
Para Penguasa
Lautan
Testimoni tentang ketangguhan Orang
Laut di Pulau Belitung tidak usah disanksikan lagi. Sejumlah catatan dalam
buku-buku kuno buatan Belanda menunjukkan bahwa Orang Laut dikenal sebagai
pelaut pemberani dan nelayan yang ulung. Buku Ensiklopedia Hindia-Belanda
terbitan tahun 1896 secara terang-terangan memaparkan ciri fisik dan karakter
Orang Laut di Pulau Belitung. Paparan itu pula yang membuat citra Orang Laut
semakin dikenal luas di kawasan Nusantara maupun kalangan Eropa.
”Mereka
memiliki fisik yang kuat, pelaut pemberani, nelayan yang unggul, dan pekerja
yang kuat,”
Ensiklopedia
Hindia-Belanda, (1896) hlm 204.
Kekuatan fisik Orang Laut juga tak
sekadar berlaku di lautan, tapi juga di daratan. Insinyur tambang timah di Belitung
Cornelis de Groot memastikan Orang Laut layak menyandang predikat pekerja yang
hebat. Hanya saja predikat tersebut baru berlaku bila Orang Laut diberikan
kesempatan untuk mengadopsi cara kerjanya sendiri. Cara kerja itu yakni dengan
sistem borongan atau kerja lembur yang menuntut pekerjaan berlangsung hingga larut
malam.
Penilaian De Groot patut jadi
perhatian mengingat dirinya adalah salah satu pionir perusahaan timah Belitung
yang berhubungan langsung dengan Orang Laut. Ia bahkan adalah orang Belanda
pertama yang menggunakan nama Blitong sebagai judul buku. Hal ini setidaknya menggambarkan
bahwa De Groot adalah sosok orang yang sangat memperhatikan sisi keaslian dalam
menulis kebudayaan Belitung.
Orang Laut yang begitu populer
dalam sejarah juga menarik perhatian penulis Indonesia Sutedjo Sujitno. Ia
bahkan membuat paparan yang cukup panjang tentang Orang Laut di Indonesia secara
umum. Paparan itu ditulis dalam bukunya yang berjudul Sejarah Timah Indonesia ,
terbitan tahun 1996. Disebutkan
asal usul Orang Laut berkaitan erat dengan sejarah rumpun Melayu di semenanjung
Malaysia dan Nusantara. Dalam sejarah diketahui kedatangan ras rumpun Melayu ke
wilayah tersebut berlangsung selama dua gelombang.
Kedatangan gelombang pertama
terjadi sekitar 2500-1500 tahun sebelum masehi (SM). Kala itu orang-orang dari
benua Asia datang dan menyebar ke wilayah selatan seperti semenanjung Malaysia
dan Nusantara bagian barat termasuk Sumatera dan Kepulauan Riau. Mereka ini
yang kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu. Bangsa ini merupakan pendukung
budaya Neolithicum (zaman batu baru). Menurut Sutedjo, jejak bangsa Proto
Melayu masa kini yakni Suku Talang Mamak dan Suku Laut.
Kedatangan ras rumpun Melayu
gelombang kedua berlangsung dalam periode sekitar 300 SM. Rombongan gelombang
kedua ini dikenal dengan sebutan Deutro Melayu. Sekarang mereka menjadi
mayoritas penduduk Riau dan dikenal dengan sebutan Melayu Riau.
Di antara rombongan gelombang kedua
itu, terdapat kelompok yang dinamai Orang-Orang Perahu. Kedatangan mereka
berlangsung dalam rentang abad ke-10 sampai abad ke-19 yang dalam publikasi
Barat sering disebut lewat nama Sea
Nomads, Nomadic Boat People, atau
Boat People. Secara harfiah
sebutan-sebutan itu bisa diartikan Orang Perahu Pengelana. Berdasarkan cara
hidupnya, mereka juga kadang disebut dengan istilah Sea Gippsies. Para pedagang Portugis menyebut Orang-orang Perahu
ini dengan sebutan Celates.
Dalam buku Sejarah Timah Indonesia,
Orang-orang Perahu itu ditulis dengan istilah nama Orang Laut. Penyebutan Orang
Laut ini merujuk pada penamaan yang berlaku di dalam masyarakat lokal. Terdapat
pandangan umum tentang asal muasal kedatangan Orang Laut. Pandangan itu
menyebutkan bangsa-bangsa Austronesia turun melalui sungai-sungai besar ke
pantai. Pandangan ini kemudian
mengarahkan dugaan bahwa Orang Laut pada awalnya adalah orang-orang sungai. Hal
ini merujuk pada catatan sejarah yang menyatakan bangsa-bangsa yang hidup di
sekitar Laut Cina Selatan menamakan dirinya ’Putra-putra Sungai’. Maka dapat
dilihat bahwa Orang Laut adalah sebuah komunitas yang mampu hidup dalam tiga
lingkungan yang berbeda, yakni laut, sungai, dan daratan. Fisik yang kuat juga
membuat Orang Laut begitu andal ketika masuk ke dalam dunia bawah air.
Kemampuan hidup di tiga lingkungan
sekaligus membuat Orang Laut tampak secara alamai memiliki kemampuan bak atlet.
Sebab pada umumnya mereka adalah para perenang yang mahir dan juga unggul
sebagai penyelam. Mereka membuat perahunya dengan tangan sendiri, kemudian
melengkapi diri dengan peralatan tangkap ikan dan senjata untuk berburu
binatang.
Dengan segala kemampuan yang
dimilikinya, Orang Laut tak diragukan lagi adalah ’penguasa lautan’ yang
sesungguhnya. Namun kekuatan yang dimilikinya itu tak lantas membuat Orang Laut
jadi kaum yang agresif dan menjadi kelompok penakluk bagi suku lain di
sekitarnya. Sebab sudah menjadi pendapat umum para peneliti dan penulis di
seluruh dunia bahwa Orang Laut pada hakikatnya adalah komunitas yang cinta
damai.
Secara umum Orang Laut di Indonesia
tersebar di berbagai daerah seperti di perairan sekitar pulau Sumatera bagian
timur, Kalimantan, Sulawesi, Flores. Catatan tentang sebaran Orang Laut ini
dimuat dalam buku Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z karya M.
Junus Melalatoa yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995. Di berbagai kawasan perairan
tersebut terdapat pula sub-kelompok Orang Laut yang disebut Orang Bajau atau
Bajo, orang Muara, dan Orang Ameng Sewang.
Nama terakhir yakni Orang Ameng
Sewang dalam buku itu disebut sebagai nama lain dari Orang Laut di Pulau
Belitung. Menurut Junus, kelompok Orang Ameng Sewang bisa dijadikan salah satu
contoh untuk mengenali pola kehidupan sosial budaya Orang Laut secara
keseluruhan. Sebab Orang Laut Pulau Belitung dianggap sudah menghuni laut dan
pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bangka dan Belitung sejak berabad-abad
lamanya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa Orang Laut di pulau Belitung
adalah representasi dari komunitas Orang Laut di Indonesia. Orang Laut juga
disebut-sebut oleh para ahli sebagai sisa turunan nenek moyang bangsa
Indonesia. Karena itu mereka dinilai masuk dalam kategori Melayu Tua (Proto Melayu)
dan bahasanya juga masih berdialek Melayu.
”Dilihat
dari latar belakang asal usul mereka, para ahli mengkategorikan Orang Laut
sebagai sisa turunan nenek moyang Bangsa Indonesia yang datang bermigrasi dari
daratan Benua Asia sekitar 2500-1500 Sebelum Masehi,”
M. Junus, (1995)
hlm 459.
Penggunaan istilah ‘Orang Ameng
Sewang’ sepertinya perlu dikaji lagi. Sebab, sejauh ini penulis tidak menemukan
keterangan mengenai penggunaan nama tersebut dalam komunitas Orang Laut di pulau
Belitung.
Satu refrensi yang bisa digunakan
yakni lewat diktat terbitan Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung tahun 1987 yang
berjudul ’Mengenal Kehidupan Adat Istiadat Suku Laut (Sawang) di Pulau Belitung’.
Diktat tersebut ditulis oleh Asin Bahari, sesepuh Suku Laut di Pulau Belitung
yang ternama karena berhasil menduduki posisi staf di Kantor Pusat perusahaan
timah di Tanjungpandan.
Tampak jelas Asin Bahari di dalam
paparannya tak sekalipun menggunakan kata Ameng Sewang. Nama yang digunakannya
yakni, kalau tidak Suku Laut, Orang Laut, atau Sawang.
Sesepuh Suku Sawang Gatong Udin
(76) mengatakan, kata Ameng dalam Bahasa Laut memiliki arti ’orang’ dan Sawang
artinya laut1. Jadi Orang Laut bisa pula disebut Ameng Sawang.
Sedangkan kata ’Sewang’ dalam Bahasa Laut memiliki arti ’uang 10 sen’.
1Wawancara,
Selasa 16 Agustus 2016 sore di Kampong Laut, Desa Selingsing. Pada waktu yang
sama, wawancara juga dihadiri oleh tiga sesepuh Suku Sawang Gantong yakni Kati,
Tis, Maisina.
Dalam sejumlah literatur berbahasa
Belanda juga tak pernah muncul kata ’Sewang’ sebagai nama dari komunitas Orang
Laut di pulau Belitung. Setidaknya hal itu berlaku pada literatur terbitan abad
ke-19 maupun awal abad ke-20 masehi.
Secara umum, asal usul Orang Laut
di pulau Belitung belum diketahui secara pasti. Generasi tua seperti Asin
Bahari bahkan hanya bisa membuat dugaan berdasarkan tradisi yang tampak pada
Orang Laut di pulau Belitung.
”Sepanjang
sejarah yang telah berjalan selama ini, belum ada yang dapat memastikan, dari
mana sebenarnya asal usul orang-orang Suku Laut ini namun berdasarkan kenyataan
yang melekat pada mereka mungkin sekali dahulunya berasal dari Kepulauan Sulu
di Mindanau Filipina Selatan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan dan adat
istiadat serta tata cara hidup bentuk rupa yang mirip dengan suku bangsa yang
mendiami pulau-pulau di lautan teduh tersebut,”
Asin
Bahari, 1987.
Dugaan Asin, Orang Laut keluar dari
Kepulauan Sulu karena mengikuti instingnya sebagai suku pengembara di lautan.
Jalur perpindahan mereka menelusuri teluk dan tanjung dari Brunei ke Kalimantan
Utara kemudian terus menyebrang ke Semenanjung Malaysia.
Dari semenanjung Malaysia kemudian
menyebar lagi ke pulau-pulau di Kepulauan Riau terus ke selatan sampai menuju
Bangka dan Belitung. Dugaan Asin ini juga merujuk pada cerita yang mengatakan
bahwa nenek moyang Orang Laut Belitung datang dari Johor Malaysia. Cerita itu dibalut
dengan kisah perjuangan heroik melawan bangsa Eropa.
”Pada waktu
Bangsa Portugis menyerang tanah Melayu, orang-orang laut turut berperang
sebagai angkatan laut kerajaan Melayu pada saat itu. Mereka dipimpin oleh
seorang Panglima kerajaan, melawan angkatan laut Portugis di perairan Malaya,”
Asin
Bahari, 1987.
Namun mereka menderita kekalahan
sehingga terpisah dari para pimpinannya. Akibatnya orang-orang laut tercerai
berai di lautan luas dan akhirnya menetap di pulau-pulau sekitar Malaysia dan
Riau. Oleh Orang Laut di Belitung, mereka disebut dengan istilah Orang Lingga.
Pada sisi lain, terdapat pula
cerita dengan versi yang berbeda. Namun kisahnya sama-sama berlatar kerajaan
Melayu. Dikisahkan pada suatu ketika seorang Panglima Tanah Melayu telah
membunuh rajanya. Panglima tersebut
dendam lantaran istrinya dipenggal oleh sang raja. Setelah membunuh raja, sang
Panglima kemudian membawa Orang Laut menyingkir dari daratan. Panglima tersebut
menjadikan Orang Laut sebagai laskarnya dan menyebrang ke arah selatan.
Dalam pelariannya itu, sang
Panglima dan Orang Laut terpisah karena dihantam angin ribut. Sebagian mereka
terdampar di sekitar Kepulauan Riau, Pulau Bangka, dan Belitung. Sejak itu
Pulau Belitung dihuni oleh dua komunitas sosial yakni Orang Laut dan Orang
Darat. Orang Laut bertahan hidup sebagai nelayan. Sedang Orang Darat yang oleh
Belanda disebut dengan istilah Billitonezen
memenuhi kebutuhan hidup secara berladang.
Gambar 1.2. Keterangan foto ini hanya ditulis ’Mendayung dengan kaki’. Namun ada kemungkinan 2 nelayan dalam foto ini adalah Orang Laut karena perahu yang digunakan mereka mirip Kulek, perahu khas Suku Sawang yang biasa juga disebut Prauwok. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927. |
Cap Bajak
Laut
Lewat paparan sebelumnya, Orang
Laut masih dikenal sebagai kelompok yang baik dan unggul secara fisik maupun
kemampuan melaut. Namun kita juga tidak bisa menutupi sejumlah catatan lain
yang mencap Orang Laut dengan citra negatif.
Gambar 1.3. Keterangan asli foto ini hanya ditulis ’Para Nelayan’. Lokasi foto ini diketahui berada di daerah Tanjung Binga. Karena itu kemungkinan nelayan yang dimaksud berasal dari para nelayan Melayu Belitong. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927. |
Dalam buku Sejarah Timah Indonesia
disebutkan bahwa banyak dari Orang Laut yang menjadi perampok. Hal itu terjadi
karena pengaruh dari orang-orang daratan yang tinggal di desa-desa. Pengaruh
orang-orang daratan kemudian mengubah Orang Laut menjadi pembuat perahu perang
yang lebih besar. Kapal itulah yang digunakan untuk menyerang kapal-kapal
barang.
Secara ekonomi Orang Laut akhirnya
beradaptasi dan sangat bergantung pada kelompok-kelompok penguasa yang lebih
kuat. Orang Laut seperti masuk perangkap dan diperalat untuk menjadi bajak laut.
Pemanfaatan itu tak lepas karena Orang Laut adalah para pendayung yang kuat dan
dianggap sebagai prajurit perang yang tangguh.
Sifat-sifat Orang Laut itu telah
menarik perhatian para penguasa-penguasa untuk mempekerjakan mereka sebagai
orang upahan guna melakukan pembajakan di laut. Pada waktu itu perairan Riau
dikuasai oleh penguasa-penguasa Johor, Bintan, serta Lingga. Para penguasa ini
kemudian mengorganisir Orang Laut dalam berbagai aksi perompakan di laut.
Hubungan antara penguasa Melayu dan
Orang Laut kemudian disebut sebagai penyebab munculnya bajak laut di perairan
pantai timur Sumatera, perairan Kepulauan Riau, Lingga, Bangka, dan Belitung.
Perampokan kala itu sudah berkembang seperti corak kehidupan.
Pionir perusahaan timah Belanda John
Francis Loudon dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1883 juga memberikan sesi
khusus untuk Orang Laut di Belitung. Salah satu perhatiannya yakni latar masa
lalu Orang Laut.
Loudon mengaku mendengar sendiri
penuturan Orang Laut Belitung tentang aksi perompakan yang sudah mereka lakukan.
Penuturan itu ia peroleh sewaktu dalam perjalanan laut menyusuri bagian selatan
Pulau Belitung. Cerita ini memberikan pandangan lain bahwa ternyata yang
menjadi sasaran bukan hanya kapal-kapal Eropa, tapi juga Cina. Dalam cerita itu
Orang Laut mengaku pernah merompak sebuah wangkang asal Cina yang terdampar di
Pulau Embasar. Sayang tak disebutkan alasan Orang Laut merompak wangkang
tersebut. Akhirnya kutipan Loudon menimbulkan kesan bahwa aksi Orang Laut itu
murni sebagai sebuah tindakan kriminal. Bahkan kutipan itu membuat citra Orang
Laut tampak seperti sosok bajak laut yang sadis.
”Sepanjang
perjalanan ini para Sekah menceritakan berbagai cerita mengenai pembajakan laut
pada masa lalu. Mereka menunjuk arah tidak jauh dari Pulau Embasar, selatan
dari Pulau Belitung, ada tempat dalam dan penuh penuh pasir di mana sebuah
Wangkang Cina terdampar beberapa tahun yang lalu yang oleh mereka dengan
Sekah-sekah lain dirampok dan lalu satu per satu awaknya dibunuh. Menurut
mereka air laut sekitar kapalnya merah karena darah,”
J.F Loudon2
Reputasi buruk Orang Laut sebagai
bajak laut sudah dikenal oleh Belanda sejak lama, jauh sebelum Loudon tiba di
Pulau Belitung, 28 Juni 1851. Hal ini tergambar
dalam buku karya seorang dosen sejarah kolonial dari Universitas Amsterdam, Belanda DR. F.W. Stapel yang diterbitkan tahun 1938.
2John Francis Loudon. Tahun-Tahun
Pertama dari Perusahaan Belitung, terj. Yayasan Budaya Mukti
(Tanjungpandan, 2015), hlm. 54.
Dalam buku Stapel disebutkan seiring
munculnya pemberontakan di Palembang dan Bangka kurun tahun 1818-1820,
perhatian Belanda terhadap Belitung bisa dikatakan hilang. Yang Belanda ketahui
pada masa itu Belitung adalah ’sarang
Lanun’ karena kelompok
perompak Lanun berkerjasama dengan Orang
Laut untuk melakukan aksi teror. Aksi tersebut bahkan sudah dianggap sudah
begitu nekat karena berani mendarat hingga ke Pulau Bangka pada tahun 1820
untuk merampas timah-timah simpanan Pemerintah Belanda di Batu Rusa.
Melihat kejadian tersebut,
Pemerintah Hindia- Belanda mau tidak mau harus kembali memberikan perhatiannya
pada Pulau Belitung. Tugas pendudukan Pulau Belitung itu kemudian diserahkan
kepada Mayor De Kock dan dilaksanakan pada tahun 1821 berdasarkan Resolusi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda 24 Juli 1820 No 1
”Maka
sebaiknya dilakukan dengan cara yang lain ialah mendekati mereka (penduduk
Belitung) dengan cara yang halus dan supaya juga diminta bantuan kerjasama
dengan orang-orang Siekapas (orang2 Sekah) yang tinggal di pantai2, supaya
mereka meninggalkan pekerjaan2 dengan cara merampas dan merompak,”
Stapel3
Dalam Resolusi Gubernur Jenderal Hindia
Belanda 24 Juli 1820 No 1 Pemerintah memandang penting untuk tidak lagi
menggunakan cara kekerasan dalam menduduki Pulau Belitung karena cara itu
dipandang tidak memberikan hasil. Namun cara halus yang dimaksud tidak diterapkan
secara baik sehingga Belanda gagal mengambil hati Orang Laut. Kondisi ini membuat Belanda akhirnya melakukan pendekatan militer yakni mengirim prajurit sebanyak satu batalion pada tahun 1822.
3Frederik Willem Stapel (1938) hlm. 46-49, terjemahan Abu Hasan (1983) hlm. 12-14. Buku
ini merupakan salah satu refrensi penting dalam mengenali jejak Orang Laut
sebelum masa Loudon tiba di Pulau Belitung.
Menurut J. F Loudon, pada tahun
1822 ini, hubungan Orang Laut dan Lanun
terputus, yang semula berteman kemudian jadi bermusuhan. Meski begitu,
Pemerintah Hindia-Belanda tetap menyakini bahwa Orang Laut masih terlibat dalam
sejumlah aksi perompakan hingga ke laut Jawa, baik secara mandiri maupun di
bawah pengaruh penguasa pribumi.
Pada tahap ini perlu kembali kita
melihat modus perompakan yang dilakukan dari masa ke masa di perairan Sumatera
hingga Belitung. Karena secara umum, aksi tersebut ikut menyeret nama Orang
Laut sebagai garda terdepan.
Bagi penulis, hal ini juga
menyangkut soal sudut pandang. Berbagai sumber yang tersedia hingga saat ini
sebagian besar adalah warisan era kolonial dan ditulis oleh para
penulis-penulis Belanda.
Pada era kolonial, pemerintahan
Belanda sangat mungkin mengangap semua pergerakan yang mengganggu aktivitas
mereka sebagai sebuah aksi kriminal. Namun bagaimana bila aksi tersebut dilihat
dari sudut pandang bangsa-bangsa di Nusantara, termasuk pula oleh para punggawa
Orang Laut.
Apa yang menjadi buah pikiran
Sutedjo Sujitno dalam catatan akhir di bukunya Sejarah Timah Indonesia bisa
menjadi bahan rujukan. Palembang, Bangka, dan Belitung sejak berabad-abad
dikenal sebagai sarang Bajak Laut yang menguasai perairan Sumatera hingga Laut
Cina Selatan. Tumbuhnya kelompok-kelompok Bajak Laut disebabkan karena faktor
alam yang memang memungkinkan. Ribuan pulau kecil dan perairan dangkal membuat
kawasan-kawasan pantai menjadi rentan terhadap kejahatan. Namun pada
perkembangan selanjutnya pada awal abad ke-17, terdapat perubahan motif dari
aksi para kelompok bajak laut tersebut. Ketika itu para pedagang Eropa datang
ke Nusantara dengan semangat kolonialisme dan sistem monopoli dalam
perdagangannya.
Kedatangan pedagang Eropa menjadi
pemicu munculnya semangat anti-kolonialisme di seputaran pantai Sumatera hingga
Laut Cina Selatan. Orang Laut yang berada dalam pengaruh kerajaan-kerajaan
Nusantara ikut ambil bagian dalam semangat pergerakan anti-kolonialisme
tersebut. Jadi bisa dikatakan, pembajakan yang dilakukan tidak sepenuhnya
bermotif kriminal, tapi lebih kepada sebuah pergerakan perjuangan untuk
mengusir pedagang Eropa dari bumi Nusantara. Dalam buku Sejarah Timah
Indonesia, Sutedjo menyodorkan gagasan bawah pergerakan itu sangat mungkin
menjadi bentuk perlawanan pertama bangsa Nusantara melawan penjajahan asing.
Gagasan ini setidaknya memberikan
kita peluang untuk menduga bahwa aksi Orang Laut dalam peristiwa pembajakan itu
mungkin saja sebagai bentuk perjuangan. Asumsi sederhana mengenai dugaan itu
yakni belum adanya catatan yang menyebutkan Orang Laut dipaksa untuk mengikuti
aksi pembajakan kapal-kapal pedagang Eropa.
Orang Laut disebut hanya
terpengaruh oleh masyarakat yang lebih maju, yang merujuk pada komunitas
kerajaan-kerjaan di Nusantara. Tidak ada kalimat yang menyatakan masyarakat
yang lebih maju memaksa Orang Laut untuk melakukan pembajakan. Terpengaruhnya
Orang Laut masih bisa kita artikan secara luas. Bisa saja mereka terpengaruh
karena kurangnya wawasan. Namun bukan tidak mungkin pula mereka terpengaruh
karena dorongan secara mandiri dari dalam hati. Dorongan itu mungkin juga muncul
karena Orang Laut merasa ikut terancam oleh dominasi pedagang Eropa dan bisa
pula karena solidaritas antar masyarakat Nusantara. Solidaritas Orang Laut juga
bukannya tanpa alasan. Sebab dari cerita turun temurun Orang Laut menyakini bahwa
mereka adalah bagian dari komunitas besar di semenanjung Malaysia dan Kepulauan
Riau.
”Ada cerita
yang mengatakan, bahwa sebelum menyebar di perairan Kepulauan Riau, Bangka, dan
Belitung, orang laut itu adalah penduduk pantai sepanjang Semenanjung Tanah
Melayu, terutama menurut cerita nenek mereka datang dari Johor Malaysia4,”
Asin Bahari
Sekilas
Tentang Lanun
John F. Loudon mengatakan, sebelum
tahun 1822 Orang Laut di Belitung memiliki hubungan erat dengan bangsa Lanun.
Dalam sejarah, bangsa Lanun dicitrakan sebagai kelompok bajak laut yang ganas
dan menguasai perairan timur Sumatera hingga barat Pulau Kalimantan.
4Lihat juga
headline Pos Belitung, Aku Cakap Laut Dia
Cakap Melayu. Minggu 12 Januari 2014. Orang Juru yang hidup berdampingan
dengan Orang Laut di Desa Juru Seberang juga mengaku nenek moyang mereka dari
Johor. Bahasa mereka berbeda dari Orang Laut tapi sepintas terdengar mirip.
Karena kemiripan bahasa itu Orang Juru seringkali dianggap sama seperti Orang
Laut.
Seperti halnya Orang Laut, kita
juga harus memberi ruang pada sudut pandang lain berkenaan dengan aksi bangsa
Lanun. Sebab terdapat sejumlah catatan lain yang menunjukkan bahwa aksi bangsa
Lanun merupakan sebuah aksi heroik melawan kolonialisme pedagang-pedagang
Eropa.
Dampier berkesempatan tinggal
bersama bajak laut Lanun pada kurun tahun 1686-16875. Menurutnya,
dalam kehidupan sehari-hari, bangsa Lanun tidak menunjukkan kecendrungan watak
bajak laut. Bangsa Lanun malah dinilai sebagai komunitas yang cinta damai dan
hidup tentram.
Lalu apa yang menyebabkan mereka
berubah menjadi kelompok bajak laut yang ganas? Jawabannya ternyata adalah rasa
anti pati mereka terhadap sikap ketamakan orang Eropa yang datang berdagang di
Asia Tenggara. Sebelum pedagang Eropa datang, bangsa di
kawasan Asia Tenggara berdagang dengan Cina dalam suasana tentram dan saling menghargai serta saling menguntungkan. Demikian juga yang terjadi ketika perdagangan berlangsung dengan orang-orang dari India.
5Sutedjo Sujitno, Sejarah
Timah Indonesia (Jakarta,1996), hlm. 116.
Kemudian datang kelompok pedagang
asal Portugis dan disusul Belanda dengan pola mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya. Pola itu dilaksanakan lewat cara memaksakan hak monopoli
dan menekan para penguasa di semenanjung Malaysia untuk menerima harga yang
mereka tentukan sendiri. Melihat keadaan itu, bangsa Lanun mencari jalan keluar
dari tekanan dan kesewenang-wenangan pedagang Eropa. Sebab, bangsa Lanun pada
dasarnya adalah bangsa yang memiliki harga diri yang tinggi. Mereka mengenal
benar apa arti kemerdekaan dan kedaulatan.
Bangsa Lanun yang dicap sebagai
bajak laut itu berasal dari Filipina, tepatnya dari teluk Lano di Pulau
Mindanau. Sampai tahun 2015, masyarakat Belitung setidaknya hanya mengenal
istilah Lanun. Demikian juga halnya dalam buku Sejarah Timah Indonesia. Literatur
barat menyebut mereka Illanun. Padahal, semua istilah itu sejatinya adalah
Iranun.
Datu Jamaluddin Datu Moksan, MA
dari Bidang Sejarah Maritim Universitas Malaysia, Sabah membuat tulisan singkat
mengenai asal muasal penamaan Lanun dan cap bajak laut terhadap bangsa Lanun.
Menurutnya, nama Lanun muncul seiring isu bajak laut dan perdagangan budak yang
tulis oleh para sarjana dan pegawai Eropa. Isu itu ditulis berdasarkan sudut
pandang dek kapal perang Barat, bukan dari sudut pandang orang Timur. Latar
tulisannya tentu juga diambil dari perseteruan bangsa Spanyol dengan Iranun di
Fillipina maupun hasil ekspedisi bangsa Belanda dan Inggris.
Isu berat sebelah dan cendrung memihak
bangsa Eropa itu kemudian dimanfaatkan oleh Sir Stamford Raffles dan James Brooke untuk mempengaruhi
bangsa Melayu. Keduanya melancarkan propaganda yang menyebutkan bahwa aksi
perlawanan Lanun sebagai tindakan keji dan pemenuhan tenaga buruh oleh bangsa
Lanun sebagai perdagangan budak. Anne Reber (1966) mendapati tulisan Sir
Stamford Raffles sebagian besar harus bertanggungjawab karena telah
menghasilkan ’decay theory’ yang menyebabkan
gambaran sangat buruk tehadap citra orang Iranun.
”Tindakan
ini telah menyebabkan Iranun
dipanggil Lanun atau Pirate dalam sejarah Asia Tenggara pada abad ke 18.
Propaganda Raffles dan Brooke telah berjaya menggambarkan dunia alam Melayu bahawa
Iranun sebagai musuh nombor satu di laut
Nusantara,”
Datu Jamaluddin
Pada tahun 2015, tiga orang
keturunan Lanun berkunjung ke Belitung dan menjelaskan nama mereka yang
sebenarnya. Tiga orang asal Sabah Malaysia itu yakni Hakim Adat OKK Haji Masrin
HJ. Hassin beserta anaknya Iskandar, dan seorang wartawan senior Abd. Naddin
HJ. Shaiddin. Mereka mengatakan, Lanun yang dimaksud dalam sejumlah literatur
dan cerita turun-temurun di Belitung sebenarnya adalah Iranun. Sedangkan bangsa
barat mengenal mereka dengan nama Illanun.
Pada tahun 2016, tiga orang
keturunan Lanun itu kembali ke Belitung dalam jumlahnya yang lebih banyak yakni
sekitar 33 orang, termasuk tiga orang perwakilan dari Fillipina. Mereka datang
untuk menjalin silaturahmi dengan keturunan Lanun yang tersisa sekaligus
mengklarifikasi sejarah mereka yang sebenarnya.
Gambr 1.4 Keturunan Iranun dari Sabah dan Filipina berfoto bersama Bupati Belitung Sahani Saleh, 25 April 2016 di Hotel Grand Hatika Tanjungpandan. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016. |
Jumlah warga keturunan Iranun di
Pulau Belitung pada tahun 2016 diperkirakan sebanyak 2000 jiwa. Bahkan akhirnya
terungkap Bupati Belitung Sahani Saleh (Sanem) dan istri Wakil Bupati Belitung
Gunawati Erwandi A. Rani adalah bagian dari keturunan mereka. Pengakuan Sanem
dan Erwandi itu dimuat di belitung.tribunnews.com pada 25 April 2016 dan 13
Juli 2016.
Profesor Ali P.Laguindab, Ph.d dari
Universitas Negeri Mindanao, Fillipina juga hadir dalam kunjungan silaturahmi
Iranun ke Belitung. Dalam presentasinya ia mengatakan, bangsa Iranun setidaknya
sudah sudah memeluk Islam sejak abad ke-14. Hal ini dibuktikan dengan adanya
pendirian madrasah dan masjid di Simunul, Tawitawi, Sulu pada tahun 1380.
Pada
masa-masa mendatang perlu dibuat satu kajian khusus tentang kaitan Iranun dan
Belitung. Sebab refrensi mengenai kaitan tersebut masih sangat terbatas.
Penting sekali menggali kaitan ini karena sejumlah tempat di Belitung memiliki
kisah berlatarkan Lanun. Sebaran kisahnya juga merata, mulai dari daerah
pesisir sampai ke pedalaman Pulau Belitung.
|
“Since the coming of the Spaniards in the
1600 to the present the Iranun in the Philippines has sustained five long
centuries of continuous wars against
the enemies of Islam, against colonialism, against oppression and for self-determination in preservation of
our homeland for Islam and our posterity,”
|
Kedatangan
keturunan Lanun ke Belitung dengan semangat kekeluargaan harus menjadi bahan
renungan. Bagi penulis, peristiwa ini bisa jadi adalah sebuah pengulangan
sejarah yang mempertegas kisah di masa lampau yang mengatakan betapa dekatnya
bangsa Lanun dan Pulau Belitung.
Gambar 1.6. Kapal Iranun. Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d 2016. |
Gambar 1.7. Kelinangan. Ini adalah kesenian bangsa Iranun yang ditampilkan di Hotel Grand Hatika Tanjungpandan, Belitung. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016. |
Gambar 1.8. Kesatria Iranun. Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d 2016. |