Kulek Terakhir, Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong - Part 5
Bab IV
Kembali ke
Pusaran Zaman
Bukan Suku
Bajak Laut
Para sesepuh Suku Sawang Gantong
berkumpul dan mendengar secara seksama ketika penulis membacakan kisah Orang
Laut dalam buku Loudon. Kisah pertama yakni tentang Orang Laut yang dicap
sebagai bajak laut.
Ketua Adat Suku Sawang Gantong
bernama Sunardo tak lantas gusar mendengar kisah tersebut. Pria yang akrab
disapa Nado ini juga tak memungkiri bahwa Suku Sawang Gantong mungkin saja
pernah terlibat dalam aksi pembajakan di laut pada masa sebelum Loudon tiba di
Pulau Belitung.
Satu hal yang pasti, Suku Sawang
Gantong tak pernah diajarkan oleh para orangtua mereka untuk mengklarifikasi
kisah tersebut. Mereka hanya terfokus pada upaya menegakkan nama Suku Sawang
dan menghilangkan panggilan Sekak. Bagi mereka, yang disebut bajak laut itu
adalah Lanun, dan Orang Laut tidak sama dengan Lanun. Bahkan Suku Sawang
Gantong memiliki sebuah permainan tradisional yang secara khusus menggambarkan pertempuran
antara Orang Laut dan Lanun. Permainan itu biasa ditampilkan pada pelaksanaan
tradisi Buang Jong setiap tahun.
Nado menduga, sebagian dari warga
Suku Sawang pada masa lalu mungkin telah dimanfaatkan oleh Lanun untuk
melancarkan aksi perompakan. Alasannya tak lain karena Suku Sawang sejak dulu
terkenal memiliki fisik yang kuat dan postur yang besar, serta sangat andal di
lautan. Suku Sawang yang berpendidikan rendah menjadikannya mudah diperdaya dan
mau ikut terlibat dalam aksi Lanun. Tapi pada akhirnya Orang Laut kena getahnya
dan terus dipandang sebagai bajak laut dalam berbagai literatur sejarah.
Pada dasarnya Suku Sawang Gantong
masa kini tidak mengetahui kisah para nenek moyang mereka di masa lalu. Karena
itu mereka tidak berani mengatakan bahwa Orang Laut pada zaman dulu benar-benar
tak pernah melakukan aksi pembajakan. Pada sisi lain, Nado sendiri sempat
mendengar cerita yang mengatakan bahwa Orang Laut pada masa lalu pernah
menyerang kapal Inggris.
Namun Nado yakin Orang Laut,
khususnya Suku Sawang Gantong bukan tipikal orang yang punya inisiatif untuk
melakukan aksi perompakan seperti itu. Ia semakin yakin setelah mendengar
cerita dalam buku Loudon bahwa hubungan Orang Laut dan Lanun terputus pada
tahun 1822.
Menurut Nado, mungkin saja hubungan
tersebut terputus lantaran Orang Laut sadar telah diperdaya. Mungkin pula Orang
Laut memusuhi Lanun karena pembagian hasil jarahan yang tidak seimbang.
”Kami memang tidak menampikkan
cerita itu, tapi kemungkinan, istilah kasarnya, pembagiannya mungkin tidak
seimbang, lebih baik kita tidak usah ikut, misal dapatnya 10 juta, masa kita cuma
500 ribu, mereka dapat 9,5 juta, sedangkan yang akan mati kita, mungkin seperti
itu, karena terus terang bukan saya membicarakan kekurangan kami, tapi secara
garis besar memang tidak ada yang sekolah, jadi mudah ditipu,” kata Nado.
Di sisi lain, Orang Laut seperti
halnya Suku Sawang Gantong adalah komunitas yang memiliki solidaritas yang
tinggi. Mereka akan bersatu membela mati-matian siapa saja yang mereka anggap
teman. Mungkin hal ini pula yang dimanfaatkan oleh Lanun atau pihak tertentu di
masa lalu untuk memperdaya Orang Laut.
Nado membuat perbandingan serupa di
masa kini yang mungkin bisa menjelaskan masalah yang dihadapi Orang Laut di
masa lalu. Menurutnya, generasi Suku Sawang Gantong masa kini sering direkrut
dalam sebuah klub sepakbola dengan bendera tertentu yang didanai oleh orang
lain. Sebagai contoh, mereka pernah membela klub APMS milik juragan minyak di
wilayah Desa Selinsing. Karena jumlah mereka dalam klub tersebut cukup banyak,
maka masyarakat sering menilai bahwa klub tersebut adalah klubnya Orang Laut.
Gambar 4.1. Sunardo. Sumber: Dokumentasi Wahyu
Kurniawan, 2016.
|
”Satu tim
kan 11 orang, tapi karena sembilan pemainnya adalah Orang Laut, maka
mayarakat bilang ini klub Orang Laut, padahal bukan,”
Sunardo
Ketua Adat
Suku Sawang Gantong
|
Berdasarkan analogi tersebut Nado
menduga Orang Laut akhirnya terlanjur disangka suku bajak laut oleh masyarakat
luas. Padahal mungkin saja Orang Laut pada zaman dahulu hanya bagian dari aksi
perompakan yang diorganisir dan didanai oleh kelompok lain.
Masyarakat
Beragama
Sampai sebelum tahun 1860, sebagian
besar warga Orang Laut di Pulau Belitung disebut tidak memeluk satu agama
tertentu. Bahkan hal serupa masih disebutkan dalam buku Gedenkboek Billiton
Jilid 2 terbitan tahun 1927. Namun terdapat tradisi mereka yang diduga mirip dengan keyakinan agama
Islam. Satu contoh dalam prosesi penguburan yang jenazahnya juga dibungkus
menggunakan kain putih. Tapi selanjutnya, rangkaian prosesi di dalamnya sangat
berbeda dengan Islam. Seperti adanya barang-barang peninggalan almarhum berupa
priuk dan serampang yang ikut dimasukkan ke dalam kubur.
Sesepuh Suku Sawang Gantong Daud
(90) tak menampik bahwa Orang Laut pada masa itu belum memeluk agama tertentu. Kondisi
itu terjadi karena syiar agama Islam belum begitu gencar masuk ke dalam
komunitas mereka. Selanjutnya, seiring pergaulan dengan masyarakat dan masuknya
syiar agama Islam, Orang Laut kemudian secara sadar ikut memeluk agama Islam
tanpa paksaan sedikit pun. Sekalipun sudah memeluk Islam, sebagian besar Orang
Laut pada awalnya masih tetap menggunakan adat istiadat mereka. Satu contoh
dalam hal pernikahan yang dilakukan tanpa menggunakan ijab kabul secara Islam.
Suku Sawang Gantong menawai prosesi pernikahan mereka dengan istilah ’Kawin
Adat’. Prosesi Kawin Adat di dalam komunitas Suku Sawang Gantong setidaknya
masih berlangsung hingga era tahun 50-an.
Generasi tua yang sempat menjalani
Kawin Adat itu masih bisa dijumpai hingga sekarang di Kampong Laut. Mereka
mengatakan, dulu Kawin Adat diakui oleh pihak perusahaan timah. Sebab setelah
melaporkan perkawinannya, seorang pekerja langsung akan mendapat tambahan
tunjangan beras untuk istri mereka.
Nado sebagai Ketua Suku Sawang
Gantong saat ini juga tak menampik soal kepercayaan orang-orang Suku Sawang di
masa lalu. Ia mengaku dirinya harus bersikap objektif mengingat segala keterangan
yang disampaikannya akan dibaca oleh banyak orang. Ia tak ingin dianggap
menutup-nutupi sesuatu yang sebenarnya tidak mereka ketahui secara pasti.
Namun yang jelas, saat ini warga
Suku Sawang Gantong sepenuhnya sudah memeluk Islam. Mereka juga sudah melangsungkan
perkawinan secara Islam. Sedangkan soal ketaatan tentu hal itu dikembalikan
kepada sikap priadi setiap orang. Satu contoh adalah Kati (70), warga Suku
Sawang Gantong dari generasi tua yang dulu dilahirkan di atas perahu dan
sekarang masih menjalani kehidupan sebagai seorang nelayan.
Saban subuh Kati sudah meninggalkan
rumahnya di Kampong Laut menuju pangkalan nelayan di Gusong Cine yang jaraknya
harus ditempuh selama dua jam bersepeda. Rutinitas itu ternyata diawali Kati
dengan terlebih dulu melaksanakan Salat Subuh di rumahnya. Hal ini setidaknya
memberikan gambaran tentang ketaatan Orang Laut pada agama semakin membaik.
Menjaga
Budaya Bahari
Sekalipun bukan lagi masyarakat
nelayan, tapi Suku Sawang Gantong masih menyimpan jejak kebudayaan bahari. Jejak
itu tampak pada pelaksanaan tradisi yang dikenal dengan nama Buang Jong. Menurut
Adiguna dalam Majalah Visit Beltim edisi 2 tahun 2013, tradisi yang
dilaksanakan setiap tahun ini bertujuan untuk menghormati leluhur dan keluarga
yang telah mendahului mereka. Selain itu Buang Jong juga digunakan sebagai
media penghormatan pada penguasa laut agar memberikan keselamatan bagi para
nelayan di lautan.
Nama Buang Jong adalah nama yang
umum digunakan di wilayah Belitung Timur. Sedangkan di wilayah Belitung, upacara
adat ini disebut dengan nama Muang Jong. Bagi Suku Sawang Gantong, penamaan
tersebut bisa dimaklumi meski tak sesuai seperti aslinya. Para sesepuh Suku
Sawang Gantong mengatakan, dalam Bahasa Laut tidak dikenal istilah Buang Jong.
Istilah nama Buang Jong digunakan oleh Pemerintah Daerah ketika upacara
tersebut diangkat menjadi salah satu daya tarik pariwisata.
Bila merujuk pada nama aslinya
dalam Bahasa Laut, upacara adat tersebut dikenal dengan nama Mueng Patong. Kata
’Mueng’ secara harfiah berarti ’membuang’, sedangkan ’Patong’ adalah nama dari
replika perahu yang digunakan sebagai salah satu properti utama dalam
pelaksanaan upacara adat tersebut. Penamaan Jong disebabkan replika perahu
tersebut mirip perahu Jong dan lebih mudah dilafalkan.
Menurut Asin Bahari, sewaktu Suku
Sawang masih menghuni lautan, upacara adat tersebut dilaksanakan secara terpadu
di Pulau Garongara. Bahkan upacara adat itu juga dihadiri oleh Suku Sawang dari
Pulau Bangka. Belum jelas bagi penulis mengenai letak Pulau Garongara. Sebab
pulau tersebut tidak tercantum dalam peta-peta kuno yang menggambarkan perairan
Pulau Belitung pada abad ke-18 sampai abad ke-20. Namun sesepuh Suku Sawang
Gantong memastikan bahwa Buang Jong di masa lalu selalu dihadiri oleh seluruh
komunitas Suku Sawang seantero Pulau Belitung. Seperti contoh pada masa kini,
ketika Suku Sawang Gantong menggelar Buang Jong, maka Suku Sawang dari
Tanjungpandan dan Manggar juga ikut hadir bersama-sama.
Buang Jong diadakan selama tiga
hari tiga malam. Pada masa lalu, pelaksanaannya dibiayai secara swadaya. Bagi
Suku Sawang Gantong kondisi itu setidaknya berlangsung hingga tahun 2007. Bantuan
Pemerintah Daerah mulai masuk pada pelaksanaan Buang Jong tahun 2008.
Fasilitasi Pemda tak sekadar
dipandang sebagai sebuah bantuan materil bagi para sesepuh Suku Sawang Gantong.
Pada sisi lain, mereka menganggap fasilitasi tersebut sebagai sebuah pengakuan
Pemda terhadap keberadaan Suku Sawang di tengah komunitas sosial masyarakat.
Mereka juga menganggap fasilitasi itu semakin memperkokoh nama Suku Sawang
sebagai nama resmi yang diakui Pemerintah untuk komunitas Orang Laut di Pulau
Belitung.
Gambar 4.2. Patong.
Ini adalah replika perahu yang sering disebut Jong dalam upacara adat Buang
Jong. Sumber: Dokumentasi Amair, 2016.
Rindu Kembali
ke Lautan
Setidaknya sudah lebih dari 100
tahun Suku Sawang Gantong terlibat dalam rantai kelola pertambangan timah di
Pulau Belitung. Sebuah perjalanan panjang yang membuat mereka terjauhkan dari lingkungan
asalnya di lautan. Namun perlu diperhatikan bahwa mereka tak sekalipun
menyesali kondisi tersebut.
Bekerja di darat menjadi buruh ternyata
adalah sebuah kebanggaan bagi para generasi Suku Sawang Gantong yang pernah
hidup di era kolonial dan kemerdekaan. Bahkan kebanggaan itu masih berbekas
pada generasi sekarang, sekalipun mereka hanya sebatas mendengar cerita.
Sesepuh paling tua di komunitas
Suku Sawang Gantong, Daud (90) bahkan tak sungkan mengatakan dirinya pernah
memijat tangan seorang Belanda di masanya. Ia tampak bersemangat ketika
mengatakan pernah bekerja di banyak sektor mulai dari gudang, kolong, sampai
kapal keruk. Semangat yang sama juga ditunjukkannya ketika menuturkan
pengalaman sebagai pekerja di bawah perusahan timah era kemerdekaan. Pasalnya
pada era kemerdekaan, fasilitas yang mereka peroleh dari perusahaan timah
Belanda masih terus dilanjutkan. Rumah disediakan, bahan makanan berlimpah, listrik
dan air gratis sehingga tidak ada cerita Suku Sawang yang menderita kelaparan
apalagi terlantar.
Sesepuh Suku Sawang Gantong Udin
(76) mengatakan, mereka merasa bangga bisa bekerja di perusahaan timah, baik
pada masa Belanda maupun di era kemerdekaan. Bahkan menurutnya, pada masa
Belanda Suku Sawang boleh dibilang menjadi anak kesayangan karena mau bekerja
keras dan tidak pernah membuat masalah.
Gambar 4.3. Daud.
Sumber : Dokumentasi Wahyu
Kurniawan, 2016.
|
”Dulu
kami lebih banyak diam di perahu, tidak banyak diam di darat, tapi Belanda
menyuruh kerja, jadi perahu merapat, tapi jadi susah turun naik perahu,
makanya dibuatkan mereka rumah,”
|
Dalam konteks ini, Belanda yang
dimaksud adalah perusahaan timah NV. Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton
(GMB). Perusahaan ini adalah gabungan dari saham Pemerintah Hindia Belanda dan
NV. Billiton Maatschappij (BM). GMB beroperasi sejak tahun 1924 sedangkan
pengelolaan timah sebelumnya dilaksanakan langsung oleh BM sejak 1860. Jauh ke
belakang, pada 23 Maret 1852 usaha tersebut dikelola oleh konsesi atas nama
J.F. Loudon sebagai pemegang kuasa Pangeran Williem Frederik Hendrik dan Vincent
Gildemeester Baron Van Tuyll yang bertindak atas nama sendiri. Pada tahun 1958,
izin GMB tidak diperpanjang dan Pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan
timah Belitung lewat Perusahaan Tambang Timah Belitung (PTTB). Pada 1960, PTTB
disatukan ke dalam PN Tambang Timah yang sekarang menjadi PT Timah (persero)
Tbk.
Sewaktu era restrukturisasi
1990-1995, PT Timah secara bertahap mengurangi jumlah karyawannya. Udin yang
telah mengabdi selama 33 tahun menerima pesangon Rp 13 juta. Sedangkan Daud
yang memang sudah lebih dulu purna tugas masih merasakan uang pensiun hingga
sekarang.
Pasca restrukturisasi, PT Timah
tetap membutuhkan tenaga Suku Sawang untuk kegiatan bongkar muat. Mantan L.O PT
Timah di Belitung Timur Mahmuddin mengatakan, waktu itu pihak perusahaan menggunakan
sistim perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Suku Sawang dipekerjakan dibawah
naungan Koperasi Karyawan Timah (Kokartim) untuk melaksanakan pekerjaan
tertentu yang dibutuhkan perusahaan seperti kegiatan bongkar muat di gudang
wilayah operasi Gantung.
Walau sepertinya Suku Sawang tampak
kurang mendapat posisi yang baik di akhir pengabdiannya, tapi mereka tetap
bersemangat ketika bercerita tentang kejayaan di masa lalu.
Sewaktu masih bekerja sebagai
karyawan perusahaan, mereka mendapatkan ransum setiap tanggal 25 atau tanggal
29 bersamaan pembagian gaji. Komponennya yakni kacang tanah, kacang hijau,
gula, kopi, teh, garam, cornet, susu, ikan kaleng, ikan asin, sabun, rokok, dan
buah-buahan seperti pisang dan kurma. Mereka masuk kerja pukul 07.00-11.00,
istirahat dan masuk kembali 13.00-16.00 dan Sabtu pulang pukul 13.00 WIB.
Sebagian mereka mengisi waktu luang dengan melaut, dan sebagian lagi sibuk pada
minatnya masing-masing.
Gambar 4.4. Udin. Sumber:
Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
|
”Dulu gaji memang murah, tapi
makanannya mewah, setiap bulan dapat jatah ransum, beras tiap hari dapat 9
ons, akhir bulan dapat lagi, kalau punya istri dan anak, jatah berasnya
ditambah lagi, rumah dapat, air listrik gratis, bola lampu putus pun tinggal
minta ganti ke perusahaan, gimana tidak bangga kerja di perusahaan,”
|
Setelah masa kejayaan timah
berlalu, mereka sadar bahwa Suku Sawang Gantong seharusnya kembali ke
lingkungan asalnya. Terlebih rumah yang mereka tempati sekarang di Kampong Laut
bukan milik sendiri. Wacana pemindahan Kampong Laut membuka peluang mereka
untuk memimpikan suasana laut di tepi pantai sebagai tempat tinggal.
Sejarah sepertinya terulang. Ingat 165
tahun lalu, para nenek moyang mereka diberi kesempatan untuk memilih tempat
tinggal pasca mendapat pengampunan dan mereka memilih Pulau Mengkokong. Pada
masa kini, mereka juga kembali mendapat pilihan, tapi pilihannya tetap
mengarahkan mereka jauh dari laut. Sebetulnya mereka bermimpi bisa tinggal di
tepian pantai Gusong Cine, tapi lokasi itu berada di luar wilayah administrasi
desa mereka saat ini. Pilihan lainnya Pantai Mudong, tapi lokasinya masuk dalam
kawasan hutan lindung. Walau belum tentu terwujud, tapi setidaknya mimpi ini
menjadi indikasi bahwa generasi Suku Sawang Gantong masa kini masih menyimpan jiwa
asli mereka sebagai Orang Laut. Sekalipun sudah lama tinggal di daratan, mereka
tetaplah Orang Laut yang senantiasa merindukan lautan.
”Sedih memang rasanya,” kata Udin.
Zaman telah membuktikan bahwa Suku
Sawang dapat diandalkan untuk menyukseskan berbagai agenda besar. Mereka mampu menjadi
angkatan laut dalam perlawanan terhadap aksi kolonialisme barat di masa
kerajaan. Mereka menjadikan roda pengelolaan timah di Pulau Belitung menjadi
sempurna di masa Belanda hingga orde baru sehingga negara punya devisa yang
bisa diandalkan. Karena itu, seyogyanya Suku Sawang juga bisa berada di posisi yang
strategis untuk mendukung agenda besar Pulau Belitung pada masa kini di sektor
pariwisata. Tentu hal ini membutuhkan pemahaman para pemangku kepentingan
tentang jiwa, karakter dan sejarah Suku Sawang dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Orang Laut atau Suku Sawang begitu
banyak diulas oleh para penulis dunia. Setidaknya fakta itu menunjukkan bahwa sejarah
dan budaya mereka selalu menjadi daya tarik bagi banyak kalangan dari masa ke
masa.
Menata Masa
Depan
Sadar pada kelemahan sendiri adalah
bekal penting bagi Suku Sawang Gantong untuk kembali ke pusaran zaman dan
menata masa depan. Mereka menyadari selama ini telah tertinggal jauh dalam hal
pendidikan. Bak gayung bersambut, kesadaran itu akhirnya mempertemukan mereka
pada Program Peduli yang berada di bawah naungan Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko Bidang PMK) Republik
Indonesia.
Melalui program
tersebut, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Penelitian – Air Mata Air (LPMP
Amair) selaku Civil Social Organization (CSO) akhirnya dipercaya serta ditunjuk
oleh The Asia Foundation (TAF) dan Kemitraan (Partnership) Indonesia untuk
mendampingi masyarakat adat Suku Sawang Gantong. CSO yang berisikan kalangan
akademisi muda Belitung Timur ini lantas melaksanakan salah satu program
kerjanya bertema Penyetaraan Pendidikan Formal Bagi Masyarakat Adat Sawang. Mengenai
tujuan dari program ini dapat dilihat dari rilis media yang disampaikan Amair
pada, Rabu 19 Mei 2016.
”Kegiatan ini diharapkan menjadi salah satu upaya dan cara untuk bisa
meningkatkan motivasi dan kapasitas Masyarakat Adat Sawang Gantong. Dengan
meningkatnya motivasi dan kapasitas Masyarakat Adat Sawang Gantong maka secara
perlahan stigma negatif terkait ’Urang
Sekak atau Urang Laut’ akan berangsur hilang dan terjadi proses inklusi sosial
di Masyarakat Adat Sawang Gantong dan masyarakat non-Suku Sawang di sekitarnya
mengalami pembauran yang setara, positif, dan produktif,”
Amair, 2016
Sebanyak 13 warga Suku
Sawang yang belum tamat sekolah dasar berhasil diikutkan dalam program penyetaraan
pendidikan formal tersebut. Mereka mengikuti kegiatan belajar setiap minggu pada
Senin malam selama lima bulan terhitung dari tanggal 7 Desember 2015 sampai 2
Mei 2016. Selanjutnya mereka mengikuti Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN)
Sekolah Dasar (SD) Paket A di bawah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
Kecamatan Gantung. Ujian tersebut berlangsung di SD Negeri 09 Gantung Dusun Seberang Desa Selising
Kecamatan Gantung Senin (16/05/2016) sampai dengan Rabu (18/05/2016) mulai
pukul 13.30 - 18.00 WIB.
LPMP Amair sempat memotret
antusiasme warga Suku Sawang mengikuti ujian Paket A tersebut. Mereka tampil
rapi mengenakan kemeja dan celana panjang. Walau sebagian hanya mengenakan
sandal jepit, mereka tetap bersemangat berjalan kaki menuju tempat ujian yang
berjarak sekitar 1 kilometer dari komplek perumahan Kampong Laut.
Dua bulan kemudian hasil Ujian
Paket A diumumkan. Hasilnya 13 warga Suku Sawang Gantong tersebut dinyatakan
lulus! Kelulusan itu akhirnya membuat mereka berhak memperoleh ijazah setara SD.
Salah satu warga Suku Sawang
Gantong yang mengikuti ujian tersebut adalah Ronny Zukriyan (17). Remaja yang
juga terdaftar sebagai Kader Peduli ini mengatakan, kelulusan tersebut membuktikan
bahwa mereka mampu mengenyam pendidikan dan memiliki ijazah. Hal itu juga membuka
peluang bagi mereka untuk mengubah stigma negatif masyarakat terhadap tingkat
pendidikan warga Suku Sawang.
"Usia bukan halangan untuk
meraih gelar pendidikan pada lembar ijazah, yang penting kemauan dan tekad,"
ujar Ronny
Ketua Pelaksana USBN SD Paket A
PKBM Taruna Maju Yusman menyampaikan pesan kepada Pendamping Lapangan LPMP
Amair Edo Yulanda. Ia berpesan agar Amair terus memberikan motivasi, fasilitasi
serta dukungan untuk warga Suku Sawang Gantong. Sebab, setelah lulus Ujian
Paket A, mereka bisa melanjutkan ke jenjang Paket B dan Paket C. Hal ini
berarti membuka peluang bagi Suku Sawang Gantong untuk memperoleh ijazah setara
SMP dan SLTA.
Gambar 4.6. Warga Suku Sawang
Gantong berjalan kaki menuju lokasi ujian Paket A. Sumber: Dokumentasi LPMP Air
Mata Air, 2016.
Gambar 4.7. Warga Suku Sawang
sedang mengikuti Ujian Paket A mata pelajaran IPA di hari ke-3, Rabu, 18 Mei
2016. Sumber: Dokumentasi LPMP Air Mata Air, 2016.
Pendampingan yang dilakukan oleh
LPMP Amair pada Suku Sawang Gantong tak sebatas hanya untuk penyetaraan
pendidikan formal saja. Berbagai kegiatan lain juga telah dilaksanakan
sepanjang kurun 2015-2016. Kegiataan itu tergambar dari pelaksanaan program
kerja fase 1 dan 2 pada rentang dua tahun terakhir.
Sebagai contoh di bidang kebudayaan
terdapat kegiatan untuk menghidupkan kembali sanggar seni Ketimang Burong dalam
komunitas Suku Sawang Gantong. Mereka kemudian difasilitasi untuk membentuk
Lembaga Adat Suku Sawang Gantong secara formal. Pendampingan juga mereka
peroleh dalam pelaksaan upacara adat Buang Jong.
Di bidang olahraga, Suku Sawang Gantong
merevitalisasi klub sepakbola legendaris Persatuan Sepakbola SSG. Hal serupa
juga dilakukan pada klub bola voli yang mereka miliki.
Suku Sawang Gantong pun tampak
antusias mengikuti berbagai pelatihan yang berguna untuk meningkatkan kapasitas
mereka. Contohnya, pelatihan peningkatan pola hidup sehat, pelatihan kader,
pelatihan pengorganisasian, pelatihan keahlian membuat replika perahu untuk
cinderamata, pelatihan parenting skill,
dan pelatihan urban farming dalam
bentuk hidroponik dan aquaponik.
Pendekatan pada mekanisme birokrasi
juga dilakukan lewat kegiatan audiensi, lobi, maupun sosialisasi. Aplikasi dari
kegiatan tersebut yakni dengan melaksanakan audiensi dan lobi bersama Bupati
dan Ketua DPRD Belitung Timur di kantornya masing-masing. Mereka juga mengikuti
musyawarah rencana pembangunan di
tingkat Desa Selinsing dan menyuarakan aspirasi lewat focus group discussion (FGD) multipihak untuk mendapatkan
dukungan program terhadap Suku Sawang.
Kegiatan ini pada akhirnya telah membawa Suku Sawang Gantong menjadi bagian penting
dalam pembentukan Kelompok Kerja Forum Peduli Belitung Timur. Kelompok kerja
ini nantinya dicita-citakan sebagai wadah yang menghasilkan solusi produktif
dan konstruksi terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang ada di Kabupaten
Belitung Timur.
Selama berada dalam pendampingan
LPMP Amair, Suku Sawang Gantong juga mendapat layanan dan fasilitasi yang
berkaitan dengan program layanan dari Pemerintah. Contohnya, Layanan Keluarga
Berencana (KB) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), sosialisasi dan fasilitasi
kartu BPJS Kesehatan, serta sosialisasi dan fasilitasi dokumen administrasi
kependudukan berupa akta kelahiran (AK), kartu keluarga (KK) dan kartu tanda
penduduk (KTP).
Suku Sawang Gantong tampak telah
menyadari bahwa penguatan generasi muda adalah modal penting untuk menjaga eksistensi
mereka dalam menghadapi perubahan zaman. Kesadaran itu tergambar lewat
kehadiran para generasi muda Suku Sawang Gantong dalam kegiatan pelatihan
komputer praktis dan pengembangan media komunitas melalui media sosial (medsos)
Kulek Terakhir. Pendekatan Suku Sawang Gantong pada komputer dan media sosial
adalah salah satu komponen penting yang akan membawa mereka kembali ke pusaran
zaman, terlepas dari eksklusi sosial, dan menyetarakan diri dalam pembangunan.
Terlepas dari semua asa yang ada,
sejarah Suku Sawang Gantong tampaknya kembali terulang. Kata kuncinya terletak
pada ’pendampingan’. Ingat 165 tahun lalu, ketika Suku Sawang mampu melepaskan
stigma negatifnya sebagai bajak laut lewat pendampingan J.F Loudon. Kemudian
pada masa kini mereka kembali berangsur meninggalkan keterbelakangan dalam hal
wawasan dan pendidikan lewat pendampingan intensif oleh LPMP Amair. Karena itu
penting menjaga kualitas pendampingan yang baik sebagai sebuah nilai dalam
membawa Suku Sawang ke dalam pusaran zaman sekarang.
Satu langkah strategis yang diambil
oleh LPMP Amair dalam proses pendampingan adalah penyusunan dan penerbitan buku
sejarah Suku Sawang Gantong. Buku ini akan membuat Program Peduli tampak
semakin bermakna dan berpeluang menimbulkan dampak berkelanjutan. Sebab,
rasanya begitu banyak sisi lain dari kehidupan Suku Sawang Gantong yang menarik
untuk dieksplorasi berdasarkan sejarah dan budayanya. Bukan tidak mungkin buku
ini juga akan menginspirasi banyak institusi atau orang per orang untuk
menghasilkan karya yang lebih brilian. Karya itu bisa terkait langsung dengan
komunitas Suku Sawang Gantong atau pada aspek lain dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegera di Pulau Belitung.
*** Selesai ***
Refrensi
Adiguna. ”Buang Jong Tradisi Unik
Nan Magis,” Visit Beltim, II (2013),
hlm 41-43.
Aidit, Sobron.”Suku-laut = Sekak”. Kisah
Serba Serbi edisi 281, 24 Mei 2001.
Bahari, Asin. Mengenal Kehidupan Adat Istiadat Suku Laut (Sawang) di Pulau Belitung.Tanjungpandan:
Dinas Pariwisata Kabupaten Dati II Belitung, Agustus 1987.
Buku Kenangan Billiton 1852-1927. Jld 1, terj. Yayasan Budaya Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor
Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Belitung, 2015.
______________________________. Jld
2, terj. Yayasan Budaya Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor Kearsipan dan
Perpustakaan Kabupaten Belitung, 2014.
Carnbe´e, Pieter Baron Melvill van.
"Kaart van de afdeeling Billiton (of
Blitong) 1856". Algemeene
atlas van Nederlandsch Indie. Batavia: Van Haren Noman & Kolff, 1862.
Croockewit, Johan Hendrik. Banka, Malakka En Billiton: Verslagen Aan
Het Bestuur Van Neêr Landsch Indië In Den Jaren 1849 En 1850. Den
Haag: K. Fuhri, 1852.
Gedenkboek Billiton 1852-1927. 1 vols. Den Haag: Martinus Nijhoff, 1927.
_______________. 2 vols.
Den Haag: Martinus Nijhoff, 1927.
Groot, Cornelis de. Herinneringen aan Blitong: historisch,
lithologisch, mineralogisch, geographisch, geologisch en mijnbouwkundig.
Den Haag: H. L. Smits, 1887.
Hedemaan, F.W.H. Von. Schets van de Bewerking ed de Huishoudelijke
Inrichting der Tinmijnen op Billiton. Joh Noman En Zoon, 1868.
Heidhues, Mary F.Somers. Company Island :
A Note on The History of Belitung . Indonesia 51, April 1991.
Hirata, Andrea. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang,
2005.
____________. Sang Pemimpi.
Yogyakarta: Bentang, 2006.
Kemp, Pieter Hendrik. Billiton-opstellen. Batavia: Ogilvie,
1886.
Ken, ”Panggil Saja Kami Orang
Sawang”. Kompas, Jumat, 22 Januari
2010.
KK1,”Aku Cakap Laut Dia Cakap Melayu,” Pos Belitung, 12 Januari, 2014, hlm. 1.
Laguindab, Ali P. The
Iranuns in Philippines: A Profile, The Land and the People Iranun
Madrasa-Centered Education Proposed simplified curriculum for special purposes
Glimpses of the Past in Pictures. Tanjungpandan: 24 April, 2016.
Lith, P. A. van der., A. J. Spaan., and F. Fokknes. Encyclopedie van Nederlandsch-Indie Met
Medewerking van Verschillende Ambtenaren, Geleerden en Officieren. Den Haag: M Nijhoff-E.J. Brill, 1896.
Loudon, John Francis. De Eerste Jaren Der Billiton-Onderneming.
Amsterdam :
J.H.de Bussy, 1883.
Loudon, John Francis. Tahun-Tahun Pertama dari Perusahaan Belitung, terj. Yayasan Budaya
Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten
Belitung, 2015.
Melalatoa, M Junus. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia Jilid
L-Z. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995.
Moksan, Datu Jamaluddin Datu. Apa itu Iranun? Sabah: 2016.
Mollema, Jarig Cornelis. De ontwikkeling van het eiland Billiton en
van de Billiton-maatschappij. Den Haag: M Nijhoff, 1918.
Mollema, Jarig Cornelis. Pertumbuhan Pulau Belitung dan
Billiton-Maatschappy 1851-1958, terj. H Abu Hassan, Manggar: April 1995.
Schepern, L. ”Aanteekeningen
omtrent de bevolking van Billiton (1860)”. Tijdschrift
voor Indische Taal Land en Volkenkunde, hlm 56-66. 3 vols.
Batavia: 1860.
Sevenhoven , J.I. ”Rapport Over Het
Eiland Billiton”. Bijdragen tot de Taal,
Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. 14 vols. Leiden: Brill, 1
Januari 1867.
Stapel, Frederik Willem. Aanvullende gegevens omtrent de geschiedenis
van het eiland Billiton en het voorkomen van tin aldaar. Den Haag: NV
Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton, 1938.
Stapel, Frederik Willem. Tambahan Keterangan-Keterangan Mengenai
Sejarah Pulau Belitung dari Tahun 1746-1823, terj. H.Abu
Hassan, Manggar: 14 April 1983.
Sudjitno, Sutedjo. Sejarah
Timah Indonesia .
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1996.
Suhendar, Dede.”Mengejutkan!Bupati
Belitung Mengaku Keturunan Perompak,” belitung.tribunnews.com,
25 April 2016.
_____________.”Keturunan Lanun
Beramai-ramai Sambangi Rumah Dinas Wabup Belitung Erwandi,” belitung.tribunnews.com, 13 Juli 2016.
Term of Reference (ToR) Fasilitasi Pembentukan Working Group Peduli
Belitung Timur “Forum Multipihak Peduli Belitung Timur”. Manggar: LPMP Amair, 2016.
Tinmijnbouw-Onderneming op Billiton in algemeene trekken geschetst, Buitenzorg: Universiteit Leiden, Juli 1900.
Yulanda, Edo. Press Release Program Penyetaraan Pendidikan Paket A Bagi Masyarakat
Adat Sawang Gantong (Kegiatan Ujian Kelompok Belajar Paket A), Program Peduli LPMP Air Mata Air 2016. Manggar: Rabu
19 Mei 2016.
Tentang
Penulis
Wahyu Kurniawan dilahirkan 16 Maret 1986 di
Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Putra pertama pasangan Ardi Kusuma dan
Wisusiyarsih ini menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Oktober
2009.
Januari 2010 ia bergabung di media
massa Bangka Pos Grup, Tribun. Setelah enam tahun menjadi wartawan lapangan,
Wahyu kini menduduki posisi sebagai Penanggungjawab Online Harian Pagi Pos
Belitung. Sepanjang karirnya, suami dari Firtasari Haliza ini bergelut pada
bidang sejarah, budaya, pendidikan, olahraga, dan pariwisata.
Ayah dari Kalisya Fadhila Kurniawan
ini secara rutin menjadi narasumber dalam kegiatan pemustaka di Perpustakaan
Daerah Kabupaten Belitung. Pada tahun 2016, ia masuk dalam daftar anggota Tim
Perumus Hari Jadi Kota Manggar di Kabupaten Belitung Timur.
Buku berjudul Kulek Terakhir Sebuah
Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong adalah buku pertama yang ditulis Wahyu
berkat kerjasama dengan LPMP Air Mata Air di Belitung Timur. Bagi Wahyu, buku
ini sangat penting karena akan menjadi pembuka jalan bagi buku-buku
selanjutnya.(*)