Kulek Terakhir, Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong - Part 4
Bab III
Pergulatan
Hidup di Darat
(Kulek
Terakhir)
Dokumentasi tertulis tentang Orang
Laut di Belitung disebut-sebut sudah muncul pada tahun 1668. Hal ini ditulis
dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia yang merujuk pada sumber
kepustakaan lama.
”Ketika
pada tahun 1668 kapal Belanda mendarat di Pulau Belitung, para awak kapal
mendapat serangan orang Ameng Sewang. Ini menunjukkan di masa lalu mereka
pernah mempunyai kekuatan yang cukup berarti,”
M Junus Melalatoa, 1995.
Hal tersebut kata Junus,
menunjukkan bahwa Orang Laut telah berabad-abad lamanya menghuni laut dan
pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka dan Belitung. Namun tulisan Junus ini
tampak tidak menggunakan rujukan langsung dari sumber kepustakaan lama.
Sebab di akhir tulisan tersebut,
Junus mencantukan daftar rujukan yang digunakannya. Rujukan itu yakni dari
tulisan Ishak H di media Kompas terbitan 14 Februari 1980, Sarwoko di media
Intisari edisi Februari 1981, dan Setyobudi di Seri Profil Masyarakat Terasing
di Indonesia yang diterbitkan Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen
Sosial R.I tahun 1987.
Bila melihat tahun yang dimaksud
yakni 1668, kemungkinan besar kapal Belanda yang mendarat itu adalah kapal De
Zantlopper yang dinahkodai oleh Jan De Harde. Dalam buku Stapel memang
disebutkan bahwa pada 12 Juli 1668, De Harde berangkat dari Batavia menuju
Pulau Belitung dalam rangka mengawal seorang petinggi Palembang bernama
Sampoera.
Buku Stapel juga melampiran laporan
De Harde ketika berkunjung ke Pulau Belitung. Namun dalam laporan tersebut
tidak terdapat satu kata pun yang mendeskripsikan Orang Laut, apalagi
mengisahkan tentang serangan dari Orang Laut terhadap kapal De Harde. Penyerangan
terhadap De Harde baru terjadi pada saat kunjungan keduanya ke Pulau Belitung
pada 14 Juni 1672. Ia tiba di
muara sungai Kubu dan esok harinya tanpa disadari kapalnya sudah dikepung oleh
12 perahu yang berpura-pura mencari ikan.
Kapal De Harde diserang menggunakan
tombak dan kapak. Akibatnya satu awak meninggal, 10 orang luka-luka dan De
Harde sendiri mengalami luka yang parah.
Kisah inilah yang kemungkinan
ditafsirkan sebagai serangan Orang Laut. Namun sekali lagi perlu
dipertimbangkan bahwa De Harde sama sekali tak menulis secara detil tentang
siapa suku yang menyerangnya tersebut.
Sejauh yang penulis ketahui,
catatan mengenai Orang Laut tercantum dalam Keputusan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda tahun 1820. Dalam surat keputusan tersebut Orang Laut ditulis dengan
tulisan Siekapas yang kemudian diterjemahkan oleh Stapel (1938) sebagai
Orang-orang Sekah.
Komisaris Hindia Belanda untuk
Pelembang yakni J.I. Sevenhoven berkunjung ke Belitung pada Juli 1823. Dalam
laporan kunjungannya, Sevenhoven menulis Orang Laut dengan tulisan Orang-Sekah
atau Orang-Laut.
Dari generasi ke generasi Orang
Belanda yang berkunjung ke Belitung tampak tidak konsisten dalam menuliskan
nama Orang Laut. Insinyur tambang Dr. J.H. Croockewit yang berkunjung ke
Belitung pada 1850 menuliskan nama Orang Laut dengan tulisan Orang Sicca.
John F. Loudon (1851) menulis
Orang-laut atau Orang-sekah dan Cornelis De Groot hanya menulis Orang Sekah.
Sedangkan Hedemann (1861) menulis lebih singkat yakni Sekkahs. Tampak sekali
adanya perbedaan dalam penulisan Orang Laut. Padahal mereka sama-sama bertemu
dan berhubungan langsung dengan Orang Laut di Belitung.
Perbedaan penulisan tersebut
berlanjut hingga zaman kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh Ishak dalam
tulisannya di Kompas 14 Februari 1980 menulis Orang Laut dengan tulisan Suku
Laut. Sarwoko dalam majalah Intisari edisi Februari 1981 menulis Orang Laut
dengan tulisan Suku Ameng Sewang. Dan Setyobudi dalam Seri Profil Masyarakat
Terasing di Indonesia tahun 1987 mendeskripsikan Orang Laut dengan tulisan Suku
Laut (Ameng Sawang).
Sementara Mary F.Somers Heidhues dalam karyanya Company Island : A Note on The History of Belitung,
Mary F.Somers Heidhues April 1991 menulis Orang Sekak. Kemudian dalam Sejarah Timah Indonesia, Sutedjo menulis
Orang Laut dengan tulisan Orang Sekak. Menurut Sutedjo, Orang Sekak juga menamai
dirinya Manih Bajau yang artinya turunan bajak laut.
Tabel 3.1
Bentuk
Penulisan Nama Orang Laut Pulau Belitung
Menurut
Berbagai Literatur dari Masa ke Masa*
Era
|
Bentuk
Penulisan
|
1800-1899
|
Siekapas,
Orang Sicca, Orang Sikka, Orang-Sekah, Orang-Laut, Orang Sekah, Orang Laut,
Sekkahs, Sekka
|
1900-1999
|
Suku
Laut, Suku Ameng Sewang, Suku Ameng Sawang, Orang Sekak, Manih Bajau
|
2000-2016
|
Suku
Laut, Orang Sawang, Suku Sawang
|
*Dari berbagai sumber. Wahyu
Kurniawan, 2016.
Orang Laut di Pulau Belitung
sekarang menamai dirinya dengan sebutan Suku Sawang. Selebihnya Suku Sawang
Gantong menambahkan kata yang merujuk pada wilayah domisili. Contohnya seperti
Suku Sawang Gantong, Suku Sawang Manggar, Suku Sawang Jalan Baru, dan Suku
Sawang Seberang.
Suku Sawang Gantong berpusat di RT
4 Dusun Seberang, Desa Selinsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Suku
Sawang Manggar di Desa Baru, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Suku
Sawang Seberang di Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten
Belitung, dan Suku Sawang Jalan Baru di Jalan Gatot Subroto, Kelurahan Paal
Satu, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Selebihnya sebagian warga
Suku Sawang berbaur di dalam lingkungan masyarakat umum di berbagai desa di
Pulau Belitung.
Pada era kolonial, kata ’Suku
Sawang’ tampaknya tidak pernah digunakan untuk menyebutkan identitas Orang Laut
di Belitung. Hingga kini belum jelas sejak kapan nama Suku Sawang pertama kali
digunakan dalam bentuk tulisan ataupun lisan.
Laporan survei Direktorat Pembinaan
Masyarakat Terasing pada tahun 1977 sudah menggunakan kata ’Sawang’. Hanya saja
kata tersebut menjadi sebuah kesatuan yang ditulis lengkap; Ameng Sawang.
Para sesepuh Suku Sawang Gantong
mengatakan, penggunaan nama Sawang sebetulnya sudah ada sebelum tahun 1977.
Setidaknya menurut mereka, Orang Laut di Kecamatan Gantung sudah
mendeklarasikan penggunaan nama Sawang pada awal tahun 60-an.
Hal ini merujuk pada pembentukan
klub sepakbola SSG yang merupakan singkatan dari Suku Sawang Gantung. Sayang generasi
yang tersisa sekarang kurang begitu ingat kapan pertama kali klub tersebut
dibentuk. Seingat mereka, klub tersebut sudah eksis sejak awal tahun 1960 dan
masih bertahan hingga sekarang.
Penggunaan kata Suku Sawang menjadi
semacam sebuah perlawanan Orang Laut terhadap kesalahpahaman orang dalam
mengidentifikasi Orang Laut di Pulau Belitung. Sebab Orang Laut di Belitung
mengklaim tak pernah menamai diri mereka sebagai Orang Sekah, atau Orang Sekak.
Hal ini juga berlaku bagi komunitas Suku Sawang Gantong.
Mereka lebih senang dipanggil Orang
Laut dibandingkan Orang Sekak atau Orang Sekah. Sebab para leluhur mereka dulu
memang memperkenalkan diri dengan nama Urang Laut, yang secara harfiah juga
sama seperti Orang Laut. Setelah itu baru mereka menggunakan nama Suku Sawang. Kata
’Sawang’ sendiri sebenarnya memiliki arti yang sama yakni laut, jadi Orang
Sawang sama artinya seperti Orang Laut, begitu juga Suku Sawang yang artinya
adalah Suku Laut.
Nama Sekak atau Sekah tak lain
hanyalah nama yang digunakan masyarakat Melayu di Pulau Belitung untuk
mengidentifikasi Orang Laut. Hingga kini tak jelas siapa yang pertama kali
menggunakan nama Sekak.
Namun Suku Sawang mengetahui makna
dari kata Sekak dan menilai hal tersebut sebagai sebuah ejekan dan penghinaan.
Mereka sama sekali tidak menyukai panggilan tersebut, dari sejak dulu sampai
sekarang.
”Di kampung
kami Belitung ada sebuah suku, kami namai Sekak, istilah umumnya Suku-laut.
Sekak selalu berdiam di tepi laut, di sekitar pantai, sungai dan muara. Bertempat tinggal dalam perahu. Ataupun kalau
punya rumah, biasanya rumah panggung
yang tinggi di atas air, dengan perhitungan
kalaupun air laut pasang-naik tidak akan sampai ke lantai rumah. Mereka hidup beramai-ramai bergerombolan.
Suku-laut ini menyebar di sepanjang
pantai pulau Belitung, Bangka dan kepulaun yang ada di Riau-Tanjungpinang
sampai di pesisir pantai Kalimantan sebelah barat,”
Sobron Aidit (2001),
Kisah Serba Serbi edisi 281
Kutipan yang diambil dari tulisan Sobron
Aidit adik kandung D.N Aidit itu setidaknya memberikan gambaran. Seorang Melayu
seperti Sobron mengakui bahwa Sekak adalah nama yang mereka gunakan untuk
memanggil Orang Laut.
Nama Sekak diambil dari kata Nyekak.
Menurut para sesepuh Suku Sawang Gantong, kata tersebut merupakan sebuah
istilah untuk menyebutkan kebiasaan Orang Laut yang suka mengupas kerang
(nyekak) dan memakan isinya mentah-mentah. Kebiasaan ini dipandang primitif
karena memakan hewan laut tanpa dimasak terlebih dulu. Sampai kemudian sempat muncul
istilah ’Urang Sekak makan barang mantak’
yang artinya ’Orang Laut makan barang mentah’. Munculnya diskriminasi semacam
ini semakin memperlebar jurang perbedaan antara Orang Laut dan masyarakat umum
di Pulau Belitung. Akibatnya, pada era sebelum tahun 60-an Suku Sawang Gantong bertahan
menjadi sebuah komunitas yang mengisolasi diri dari pergaulan luas.
Namun pada dasarnya Suku Awang
adalah komunitas yang cinta damai. Hal ini terbukti dari prinsip yang dipegang
oleh Suku Sawang Gantong. Mereka berpegang teguh menahan diri dari perselisihan
selama orang lain tak menggunakan kata Sekak di hadapan mereka. Karena itu pula
mereka sebisa mungkin membatasi diri dalam pergaulan supaya mereka tak mendengar
kata Sekak di telinga mereka. Kalaupun ada yang jelas-jelas mengejek lewat
sebutan Sekak, maka serombongan Suku Sawang Gantong akan mencari orang tersebut
sampai dapat.
Gambar 3.1. Rumah Orang Laut. Suku Sawang Gantong menyakini foto ini mirip seperti kondisi rumah mereka sebelum pindah ke Kampong Laut. Sumber: Gedenkboek Billiton 1852- 1927/Repro.
|
Namun entah siapa yang pertama kali
memulainya, Suku Sawang Gantong kemudian berangsur-angsur berbaur dengan
masyarakat di sekitarnya. Kuat dugaan bahwa klub sepakbola SSG adalah salah
satu media bagi Suku Sawang di Kecamatan Gantung untuk mendekatkan diri pada
masyarakat luas di Pulau Belitung.
Gambar 3.2. Para pemain klub sepakbola Suku Sawang Gantong (SSG) sedang berparade. Sumber: Dokumentasi Jana, tahun 60-an/Repro. |
Kekuatan fisik lelaki Suku Sawang
menjadikan mereka sebagai pemain sepakbola yang disegani sekaligus disenangi. Secara
bertahap, pesepakbola Suku Sawang juga mulai diajak untuk bermain bersama di
klub dari luar komunitas mereka.
Orang-orang
Sekak biasanya hidupnya berkolektif, bergerombolan, ramai-ramai. Kalau ada
pertandingan bola di Tanjungpandan, hanya kalau orang-orang Sekak turut main,
maka serombongan mereka pada nonton. Dari bayi, anak-anak sampai kakek-nenek,
memenuhi pinggiran lapangan sepakbola itu. Kami penduduk asli Belitung tak
sampai begitu, tak ada dan tak pernah. Mana ada perempuan, nenek-nenek dan
kakek-kakek pada nonton bola, tak ada itu!
Sobron Aidit (2001),
Kisah Serba Serbi edisi 281
Generasi muda Suku Sawang sekarang
sudah ikut memperkuat kesebelasan PS Beltim Kabupaten Belitung Timur di
berbagai ajang sepakbola di tingkat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun
wilayah Sumatera. Penampilan mereka juga selalu menarik perhatian para awak
media.
Nama Suku Sawang tampaknya semakin
menguat pada abad ke-21 ketika nama tersebut dimasukkan oleh Andrea Hirata
dalam novel Laskar Pelangi yang diterbitkan perdana tahun 2005. Bahkan Andrea
memuat satu bab khusus di bab 14 yang diberi judul Laskar Pelangi dan
Orang-Orang Sawang.
Sosok Suku Sawang juga masih
dimasukkan dalam novel Sang Pemimpi terbitan tahun 2006. Lalu pada 2012, bab 14
novel Laskar Pelangi kembali dimuat ulang dalam buku Andrea Hirata dan kawan-kawan
yang diberi judul Laskar Pelangi Song Book, Kisah dan Lagu dari Negeri Laskar
Pelangi.
Dalam novel Laskar Pelangi tersirat
bahwa hubungan antara komunitas Melayu dan Suku Sawang di Pulau Belitung sudah
berlangsung sejak lama. Hubungan itu dalam bentuk barter di mana orang Melayu
menukar hasil buruan dan komoditi hutan dengan garam buatan para perempuan Suku
Sawang. Transaksi kedua belah pihak disebut berlangsung di teluk Balok yakni
sebuah teluk yang sekarang berada di perairan Kecamatan Dendang, dan Kecamatan
Simpang Pesak, Kabupaten Belitung Timur.
Tidak disebut mengenai asal usul
Suku Sawang dalam novel Laskar Pelangi. Namun sempat disinggung soal tingkat
kelahiran di komunitas Suku Sawang yang dinilai rendah. Kondisi ini memunculkan
kekhawatiran tentang kemungkinan punahnya bahasa Suku Sawang.
Telepas Laskar Pelangi hanyalah
sebuah novel. Tapi jelas nama Suku Sawang setidaknya telah dibaca banyak orang
di Indonesia. Sebab novel tersebut dinyatakan laris hingga jutaan eksemplar dan
mampu mendorong banyak wisatawan berbondong-bondong datang ke Pulau Belitung.
Menelisik Asal
Muasal Suku Sawang Gantong
Sebelum pindah ke Sungai Lenggang
Kecamatan Gantung, komunitas Suku Sawang Gantong lebih dulu tinggal di teluk
Balok, Kecamatan Dendang, Kabupaten Belitung Timur. Hal ini dibuktikan lewat
penuturan sesepuh Suku Sawang Gantong yakni (90) Daud yang mengatakan bahwa
asal muasal keluarganya dari Dendang. Bahkan Daud sendiri mengaku dilahirkan di
dalam perahu di wilayah tersebut.
Pernyataan ini selaras dengan
catatan Loudon tentang Orang Laut pada tahun 1853. Dalam catatan tersebut,
Loudon tak menyebutkan adanya sebuah komunitas Orang Laut di Sungai Lenggang,
atau wilayah Gantung. Catatan Loudon perlu jadi acuan mengingat dirinya memang
pernah menyusuri sungai Lenggang bersama sejumlah Orang Laut Belantu dan
Tanjungpandan.
Menurut Loudon, pada masa itu Orang
Laut dibagi menjadi lima kelompok utama yakni Orang Ketappang, Orang Parrak, Orang
Belantoe (baca: Belantu), Orang Olim, dan Orang Djoeroe (baca: Juru). Sayang
Loudon tidak merinci secara detil lokasi domisili dari kelima kelompok
tersebut.
Hanya disebutkan Orang Ketapang dan
Orang Parrak tinggal di sebuah teluk di Pulau Belitung. Orang Belantu tinggal
di wilayah Distrik Belantu, dan Orang Olim di sebuah sungai kecil. Sedangkan
Orang Juru sudah jelas berada di muara Sungai Cerucuk Tanjungpandan dan masih
bertahan hingga saat ini.
Pada tahun 1868, Hedemann dalam
bukunya mengatakan Orang Laut di Belitung terbagi menjadi tiga suku yakni Suku
Parak, Suku Ketapang, dan Suku Belantu. Setiap suku memiliki kepalanya
masing-masing. Pada tahun 1870, de Groot membuat pendataan baru tentang
keberadaan Orang Laut di Pulau Belitung. Hasil pendataan itu dipublikasikan
dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1887.
Menurut De Groot, di Tanjungpandan
terdapat Suku Parak yang dikepalai oleh Ma Demang, di muara sungai Sijuk
terdapat Suku Ketapang yang dikepalai oleh Kanten, di sungai Buding juga
terdapat Orang Laut dikepalai oleh Ma Tidja. Sementara di sungai Manggar dekat
ibukota Distrik Manggar terdapat Suku Bakau yang dikepalai oleh Poenei.
Selanjutnya di Ibukota Distrik
Dendang terdapat perahu-perahu Orang Laut dari Suku Belantu, yang diperintah
oleh kepala yang lebih rendah yakni Ma Senin dan Ma Kanon. Sedangkan sisa dari
Suku Belantu lainnya dikepalai oleh Ma Mina yang menempati Pulau Seliu dan
Sungai Membalong.
Jadi bila merujuk pada catatan De
Groot, patut diduga kuat bahwa Suku Sawang Gantong adalah bagian dari Orang
Laut Belantu. Hal ini juga menunjukkan bahwa sampai pada tahun 1870 belum
terdapat komunitas Suku Sawang yang secara tetap mendiami wilayah Gantung dan
perairan Sungai Lenggang.
Dugaan bahwa Suku Sawang Gantong
adalah bagian dari Orang Laut Belantu diperkuat oleh catatan Loudon. Disebutkan
bahwa pada tanggal 30 September 1851 di Benteng Tanjong Gunong, Loudon menerima
permohonan maaf salah seorang kepala bajak laut bernama Ma Kotjek yang datang
bersama para anggotanya yang terdiri dari 10 aloean. Menurut Loudon, Ma Kotjek
adalah orang yang pernah dicatat dalam laporan insinyur tambang Croockewit pada
13 Desember 1850. Kala itu Croockewit bertemu dengan Ma Kotjek di muara Sungai
Lenggang. Dalam laporannya tersebut, Croockewit menulis nama Ma Kotjek dengan
sebutan Ma Koti.
Pernyataan Loudon ternyata benar setelah
penulis mengecek lebih lanjut laporan Croockewit yang diterbitkan ke dalam
sebuah buku berjudul Banka, Malakka En Billiton, tahun 1852. Pada tanggal 13
Desember 1850, Croockewit didatangi oleh tiga perahu Orang Laut yang berisikan
delapan orang bertubuh besar. Mereka datang bersama lima pemimpin mereka. Kesalahan
Croockewit dalam penulisan nama Ma Kotjek menjadi tampak wajar karena ternyata
ia mendapatkan nama kelima pemimpin Orang Laut itu dari salah seorang muridnya.
Pada sisi lain, Croockewit juga sedang dalam kondisi demam saat menyambut
kedatangan lima pemimpin tersebut. Lima nama pemimpin Orang Laut itu oleh
Croockewit kemudian di tulis; Ma Koti, Ma Mina, Ma Rantjan, Pa Moeda, dan Ma
Selat.
Bila kita merujuk lagi pada catatan
Loudon dan De Groot, tampak jelas Ma Kotjek yang dijumpai Croockewit di sungai
Lenggang adalah bagian dari Orang Laut Belantu. Hanya saja mungkin karena pola
hidup berpindah-pindah membuat Orang Laut hanya menetap di Sungai Lenggang
khusus pada waktu tertentu saja.
Jadi bisa disimpulkan secara
sederhana, Suku Sawang Gantong pada awalnya adalah bagian dari kelompok Orang
Laut Belantu yang bermukim di perairan Dendang. Suku Sawang Gantong kemungkinan
adalah keturunan dari Ma Kotjeh, Ma Senin, atau Ma Kanon. Pasalnya Ma Kotjeh
tercatat pernah berada di muara Sungai Lenggang, sedangkan Ma Senin dan Ma
Kanon adalah dua pemimpin Orang Laut Belantu yang secara khusus mendiami
perairan Dendang.
Tabel 3.2
Kelompok
Orang Laut Belantu
Croockewit
1850
|
Loudon
1853
|
De Groot
1870
|
Ma Koti
Ma Mina
Ma Rantjan
Pa Moeda
Ma Selat
|
Ma Mina
Ma
Rantjang
Ma Selat
Ma Bali
Ma Lanang
Ma Intan
Ma Kotjeh
|
Ma Mina
Ma Senin
Ma Kanon
|
Sumber: Croockewit, Loudon, De
Groot.
Kesimpulan ini semakin diperkuat
lewat catatan dalam diktat Asin Bahari tahun 1987. Ia mengatakan, umumnya Orang
Laut di Pulau Belitung berdiam atau berumah di atas perahu atau rumah-rumah
yang didirikan di atas air. Bentuk rumah Orang Laut itu berupa gubuk-gubuk berukuran
sedang dan kecil. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok yang setiap
kelompoknya terdiri dari puluhan perahu. Setiap kelompok memiliki pemimpinnya
sendiri yang disebut Batin. Penggunaan istilah Batin ini sudah dikenal
setidaknya sejak abad ke-19. Kemudian secara lebih rinci Asin memaparkan
kelompok-kelompok tersebut. Paparannya itu membuat penuturan Loudon dan De
Groot semakin jelas.
”Di Pulau
Belitung bagian barat, yang meliputi Kota Tanjungpandan dan pulau-pulau di
sekitarnya terdapat di Pulau Baguk, Suku Ulim, Suku Parak, Suku Ketapang,
sedangkan di Pulau Belitung bagian timur dan selatan terdapat Suku Bakau dan
Suku Belantu. Suku-suku tersebut disebut berdasarkan tempat bermukimnya atau
pangkalan pulang dari lautan,”
Asin Bahari, 1987.
Jelas di sini bahwa Suku Bakau
adalah komunitas Orang Laut yang mendiami wilayah Manggar dan hal ini sama
seperti yang disampaikan oleh De Groot. Sedangkan Suku Belantu adalah komunitas
yang menghuni wilayah Kecamatan Membalong dan Dendang. Berdasarkan
keterangan-keterangan tersebut ditemui benang merah yang menghubungkan Orang
Laut di masa lalu dan generasi yang tersisa sekarang.
Sesepuh Suku Sawang Gantong Udin
(76) mengatakan, dirinya di lahirkan di Manggar, tapi orangtuanya berasal dari
Dendang1. Menurut Udin, hampir semua warga Suku Sawang Gantong
adalah keturunan dari Orang Laut Dendang.
Loudon mengatakan, Orang Laut
Belantu memilih tinggal di Pulau Mengkokong pasca mendapatkan ampunan.
Sedangkan Udin mengatakan, Suku Sawang Gantong memiliki pantun yang diturunkan
secara turun temurun yang di dalamnya terdapat nama pulau tersebut. Simak bunyi
pantun di bawah ini ;
Mengkukong
banyak rengit
Rengit
menebok buku kayu
Puncak
gunung pasang dinamit
Idang
menimbak burung geruda lalu.
1Wawancara Kamis. 21 Juli 2016 di Kampong Laut bersama
para sesepuh Suku Sawang Gantong.
Kemungkinan perpindahan Suku Sawang
dari Dendang ke Gantung dipicu oleh perubahan tata kelola penambangan timah.
Pada awalnya Dendang lebih dulu menjadi sebuah distrik tambang. Dendang menjadi
distrik tambang timah milik perusahaan Belanda pada tahun 1867, sedangkan
distrik Lenggang dengan ibukotanya Gantong baru dibuka pada tahun 1868.
Pada tahun 1912, distrik Dendang
ditutup. Sebagian wilayahnya seperti Membalong dimasukkan ke distrik
Tanjungpandan, sementara daerah Dendang dan sekitarnya dimasukkan ke wilayah
distrik Lenggang. Penutupan distrik Dendang ini kemungkinan menjadi pemicu Suku
Sawang pindah ke Gantung. Dugaan ini merujuk pada catatan De Groot yang
menyebutkan bahwa Orang Laut sangat bergantung pada perusahaan timah.
Setidaknya begitulah kondisi Orang Laut pada tahun 1887. Orang Laut menyenangi
pekerjaan lepas dengan upah tetap per hari yang kala itu hanya bisa mereka
peroleh dari pihak perusahaan.
Gambar 3.3. Jembatan Gantong di Ibukota Dsitrik Lenggang sebelum diuruk menjadi daratan yang menyatu dengan areal pasar. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927/Repro. |
Gambar 3.4. Jembatan Sungai Lenggang. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927/Repro. |
Pada sisi lain, pihak perusahaan
juga sangat terbantu dengan kehadiran Orang Laut. Karena itu tampaknya penting
untuk membujuk mereka agar tinggal secara permanen di daratan. Komunitas Orang
Laut asal Dendang itu akhirnya menetap di ibukota Gantung. Mereka secara
bertahap meninggalkan perahu dan membuat rumah panggung di tepian Sungai
Lenggang. Komunitas inilah yang kemudian pada masa sekarang menjadi Suku Sawang
Gantong.
Menurut penuturan generasi yang
tersisa saat ini, perpindahan Suku Sawang dari perahu ke darat berlangsung
tanpa paksaan dan terjadi karena permintaan perusahaan timah Belanda. Permintaan
itu bertujuan agar Suku Sawang mudah ditemukan saat pihak perusahaan
membutuhkan tenaga mereka. Jika dibiarkan terus berada di perahu, Suku Sawang
kemungkinan akan mengikuti naluri mereka, berpergian ke laut dan pulau-pulau di
sekitar Pulau Belitung untuk mencari ikan dan tripang.
Prilaku Suku Sawang tersebut tentu
akan menghambat urusan perusahan. Karena saking besarnya kepentingan perusahaan
pada Suku Sawang, maka sebuah komplek perumahan akhirnya dibangun khusus untuk
Orang Laut di Lenggang.
Komplek perumahan itu sekarang
dikenal dengan nama Kampong Laut, yang terletak di Desa Selinsing, Kecamatan
Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Warga Suku Sawang setempat menyakini komplek
tersebut pada awalnya berbentuk rumah panggung. Gambaran mengenai pemukiman
Suku Sawang Gantong sebelum pindah ke komplek Kampong Laut bisa dilihat dalam
foto di buku Gedenkboek Billiton 1852-1927.
Minimnya tingkat pendidikan para
warga Suku Sawang membuat mereka tidak memiliki arsip sejarah yang baik.
Penuturan dari para orang tua mereka juga tidak pernah tersimpan sehingga Suku
Sawang Gantong tak mengetahui detil waktu perpindahan mereka ke komplek Kampong
Laut.
Udin mengaku dirinya masih sempat
tinggal di rumah panggung di tepian sungai Lenggang, tak jauh dari jembatan
Lenggang. Pada saat usianya kurang lebih tujuh tahun, orangtuanya pindah ke
komplek Kampong Laut yang dibangun oleh perusahaan timah Belanda. Bila merujuk
pada cerita ini, kemungkinan komplek perumahan Kampong Laut dibangun pada tahun
1947 pada masa NV. Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton (GMB). Meski
Indonesia sudah merdeka, perusahaan GMB masih eksis di Pulau Belitung hingga
tahun 1958.
Universitas Leiden dalam sebuah
buku yang dipublikasikan tahun 1900 setidaknya bisa memberikan gambaran tentang
keberadaan Suku Sawang di Sungai Lenggang. Buku yang berjudul ’De tinmijnbouw-onderneming op Billiton in
algemeene trekken geschetst’ tersebut sudah menyebutkan Sungai Lenggang
adalah salah satu tempat tinggal Orang Laut di Belitung, disamping Sungai
Cerucuk, Sijuk, Buding, Manggar, dan Dendang.
Catatan ini setidaknya memberikan
gambaran bahwa Suku Sawang Gantong sudah menghuni sungai Lenggang secara tetap dalam
kurun waktu antara tahun 1887 sampai 1900. Jadi, besar kemungkinan puncak
perpindahan Suku Sawang ke wilayah Gantung berlangsung pada tahun 1912 yakni
ketika distrik Dendang ditutup. Dengan kata lain Suku Sawang sudah menetap di
wilayah Kecamatan Gantung selama lebih dari 129 tahun.
Gambar 3.6. Foto berjudul ikan duyung ini terlampir dalam buku De Groot tahun 1887. Kemungkinan pria yang ada dalam foto ini adalah sosok seorang Suku Sawang. |
Belum jelas bagi warga Suku Sawang
Gantong ketika ditanya mengenai asal usul mereka sebelum tiba di Pulau
Belitung. Hasil wawancara penulis dengan komunitas ini menunjukkan adanya
perbedaan pandangan antara satu dan yang lain. Sebagian mereka ada yang
mengatakan Suku Sawang Gantong berasal dari Kepuluan Riau dan sebagian lagi
mengatakan nenek moyangnya berangkat dari Johor, Malaysia.
Karena itu, kepastian mengenai asal
usul Suku Sawang Gantong tampaknya masih butuh kajian lebih mendalam. Hubungan
antara Orang Laut di setiap tempat di Pulau Belitung juga perlu dikaji kembali
mengingat Suku Sawang Gantong merasa nenek moyangnya berbeda dari Suku Sawang Seberang.
Bahkan Orang Juru di tepian muara sungai Cerucuk yang sempat dikira bagian dari
Orang Laut ternyata memiliki bahasa yang berbeda. Satu lagi yang perlu menjadi
perhatian adalah hubungan antara Orang Laut Belitung dan Pulau Bangka.
Orang Laut
dan Tuan Loudon
Sampai pada tahun 1850, Orang Laut
di Pulau Belitung dikenal oleh kalangan Eropa sebagai bagian dari komplotan
bajak laut yang sangat berbahaya. Namun Sevenhoven menyakini Orang Laut tak
bergerak secara mandiri dalam melancarkan aksi tersebut. Sebab ia menyakini
Orang Laut tidak cukup mampu menyediakan beragam peralatan yang diperlukan
sekaligus merancang strategi untuk melakukan pembajakan kapal-kapal Eropa. Hal
itu hanya bisa diperoleh berkat dukungan para petinggi di Belitung dan pengaruh
dari para pimpinan mereka sendiri.
”Banyak dari mereka adalah bajak
laut, tetapi merupakan kebohongan bahwa hanya mereka yang mengambil alih
pembajakan,” kata Sevenhoven.
Adalah John Francis Loudon yang
dalam sejarah Hindia Belanda diakui sebagai orang yang berjasa mengatasi
masalah Orang Laut di Belitung. Ia menyudahi keterlibatan Orang laut dalam aksi
pembajakan tanpa sedikit pun menimbulkan korban.
Riwayat hubungan dengan Orang Laut
itu diabadikan oleh Loudon dalam bukunya yang diterbitan tahun 1883. Buku itu
disusun berdasarkan pengalamannya selama berada di Belitung kurun tahun 1851
sampai 1857. Sewaktu tiba di Belitung, Loudon menilai Orang Laut seolah-olah
terbagi menjadi dua kelompok yakni Tanjungpandan dan Belantu. Kelompok yang
pertama adalah orang-orang yang tenang dan patuh pada Depati. Sedangkan
kelompok dari Belantu tampil sebaliknya, hidup secara liar dan tidak mengakui
pemerintah.
Kelompok Belantu ini tinggal di
pantai selatan dan timur Pulau Belitung. Mereka tidak berhubungan dengan
kelompok Orang Laut lainnya. Menurut Loudon perbedaan itu terjadi karena
kelompok Belantu bermukim jauh dari ibukota sehingga kontrol pemerintah
terhadap mereka menjadi sangat minim. Namun Loudon menyakini bahwa kelompok
Tanjungpandan pada awanya juga bagian dari komplotan bajak laut.
”Orang Laut
atau Orang Sekah’s semua tinggal di dalam perahu dan bekerja sebagai pencari
ikan, dan tripang, agar-agar, kura-kura, dan lain-lainnya dari laut,”
J.F Loudon,
1883
Minimnya kontrol pemerintah dinilai
telah membuat Orang Laut dari kelompok Belantu mudah terjerumus dalam aksi
perompakan. Namun aksi mereka tampaknya tidak murni atas obsesi pribadi. Hal
itu dibuktikan dengan munculnya inisiatif untuk mengajukan ampunan kepada
Pemerintah Hindia-Belanda lewat perantara Loudon.
Kabar tentang usulan permohonan
maaf Orang Laut Belantu diperoleh Loudon dari seorang pedagang di Tanjungpandan
asal Muntok bernama Haji Idries. Disebutkan bahwa 21 panglima atau kepala dari
Orang Laut yang melakukan pembajakan di Pantai Jawa mau berbicara dengan Loudon
di Pulau Kalimuak tanpa diketahui oleh Depati. Orang Laut ingin pertemuan itu
tidak diketahui Depati bukannya tanpa alasan. Mereka sadar aksi mereka
sebelumnya berada dalam naungan Ngabehi Belantu yang berasal dari keluarga
Depati.
”Saya dengar bahwa Ngabehi dari
Belantu sendiri mempunyai perahu-perahu yang digunakan untuk pembajakan di
laut. Lima perahu di antaranya berawakan sejumlah Orang Laut dan sedang
bersembunyi di salah satu sungai di bagian barat,” kata Loudon.
Orang Laut lari dan menyembunyikan
perahunya lantaran takut melihat kedatangan dua kapal perang pemerintah yakni
Aruba dan Etna di Pelabuhan Tanjungpandan. Sejumlah orang juga mengatakan pada
Loudon bahwa Orang Laut tersebut telah merampok sebuah kapal di selatan Pulau
Jawa. Bahkan Depati dikabarkan mengetahui aksi perompakan tersebut.
”Kapal
mereka cukup kuat, tempat-tempat di mana mereka membajak adalah laut Jawa, di
sekitar sini mereka tidak berani karena mereka telah dikenal betul. Dikatakan
bahwa Depati tahu mengenai ini dan tidak melarang oleh karena mulutnya ditutup
dengan hadiah-hadiah dan ponakannya juga dapat andil dari hasil bajakan
tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang saya dengar di Sungai Selan,”
J.F Loudon,
18 Juli 1851.
Pasca menerima informasi tersebut,
Loudon menghadapi sebuah dilema yang cukup berat. Satu sisi ia ingin membantu
Pemerintah mengatasi masalah Orang Laut yang sering terlibat dalam aksi
perompakan. Namun pada sisi lain dirinya juga tidak ingin menyakiti Orang Laut
dan Depati karena hal itu bisa menggangu usahanya dalam merintis pertambangan
timah di Belitung.
Langkah pertama yang ia lakukan
adalah meminta jajarannya untuk tidak menyebarkan informasi tersebut pada awak
kapal perang dan Depati. Ia kemudian juga menolak bertemu Orang Laut secara
sembunyi-sembunyi di Pulau Kalimuak. Loudon pun memutuskan untuk menunggu
sambil terus menjalankan kegiatan eksplorasi timah di berbagai tempat.
Ia sadar, setiap orang yang datang
dan berbicara padanya pasti diketahui Depati lewat informasi para mata-mata.
Pilihan agar tetap diam akhirnya membuahkan hasil. Depati kemudian buka suara
dengan menyebut ada sejumlah saudagar pribumi yang tidak menyenangi dirinya.
Menurut Depati, para saudagar yang tidak senang padanya lantaran mereka berteman
baik dengan Mas Agus dari Lepar.
Sosok Mas Agus disebut-sebut sejak
lama ingin mengambil posisi Depati di Pulau Belitung. Mendengar penuturan
Depati tersebut maka Loudon menjawab segala informasi yang diterimanya hanya
masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Loudon juga tetap menahan diri
sekalipun Orang Laut terus mendesak ingin bertemu. Pilihan itu diambil dengan
harapan Depati secara sadar mau mengaku tentang perkara pembajakan yang
dilakukan oleh Orang Laut. Sebab Loudon juga mendengar bahwa Ngabehi Belantu
memiliki banyak senjata yang disembunyikan di dalam tanah dan biasa digunakan
untuk kebutuhan perahu saat melakukan pembajakan.
Butuh waktu hampir dua bulan Loudon
menunggu sampai akhirnya Depati buka suara soal pembajakan yang dilakukan oleh
Orang Laut dari Belantu. Peristiwa itu berlangsung pada 13 September 1851.
”Dia membenarkan semua yang telah
saya dengar tetapi tidak bahwa dia tahu mengenai pembajakan laut dan
keponakannya lah yang memimpin itu,” kata Loudon.
Depati memberikan pembelaan atas
apa yang telah dilakukan oleh keponakannya dan Orang Laut dari Belantu. Mereka
takut dihukum dan tak berani datang serta berjanji akan berubah menjadi baik
setelah dimaafkan.
”Saya katakan untuk memberitahukan
kepada para kepala (Orang Laut, red) bila mereka mau datang ke sini (Benteng Tanjong
Gunong, red) dan berjanji menjadi baik maka mereka dimaafkan,” kata Loudon.
Berselang sembilan hari kemudian
atau tepatnya 22 September 1851, Orang Laut dari Belantu tiba di rumah Depati.
Loudon mendapat pesan dari Depati bahwa Orang Laut tersebut tidak berani datang
ke Benteng.
Mendapat pesan tersebut, Loudon
kemudian memutuskan untuk datang langsung ke rumah Depati. Rekan Loudon yakni
Van Tuyll sempat menawarkan agar kunjungan ke rumah Depati dikawal oleh para
serdadu. Kalau pun tidak, para serdadu bisa diminta berjaga dari jauh sambil
menunggu kode bila terjadi sesuatu yang buruk pada Loudon dan Van Tuyll. Namun
Loudon menolak dan yakin bahwa ide tersebut sama sekali tidak perlu. Mereka
berdua akhirnya berangkat ke rumah Depati tanpa pengawalan.
”Bertemu
mereka di halaman rumah Depati, kira-kira ada 50 orang yang berkumpul, tiga
pemimpinnya yaitu Ma Rantjang (paling penting dan paling tua), Ma Minah dan Ma
Selat. Mereka berjanji akan berkelakukan baik dikemudian hari, perahu-perahu
besar yang mereka gunakan untuk membajak akan dilepas, dan senjata-senjata akan
mereka serahkan dan selanjutnya akan tinggal menetap di Belitung dan akan
menurut pada Depati,”
J. F
Loudon, 22 September 1851.
Sebagai balasannya, Loudon berjanji
agar Gubernur Jenderal Hindia-Belanda memaafkan mereka dan pihak Loudon
selanjutnya juga akan menjamin para Orang Laut tesebut. Loudon meminta agar
Orang Laut dari Belantu menyerahkan perahu-perahu dan senjata-senjata yang
digunakan untuk pembajakan. Semua yang diserahkan itu akan dibayar sebagai
ganti rugi, walau menurut Loudon perahu-perahu tersebut sebetulnya harus
dibakar.
”Dan kalau mereka berkelakuan baik,
mereka akan selalu dapat beras dari kami bila mereka lapar. Kelihatannya mereka
merasa puas,” kata Loudon.
Tanggal 23 September, Depati
mengatakan Orang Laut mau bersumpah di bawah Alquran di masjid. Sumpahnya yakni
akan setia kepada Pemerintah dan Depati. Loudon dan van Tuyll diminta
menyaksikan. Namun Loudon menilai sumpah tersebut tidak perlu karena sebelumnya
Orang Laut sudah melakukannya. Orang Laut diminta pulang ke Belantu untuk
membawa seluruh anggotanya ke Benteng, Tanjong Gunong.
Berselang tiga hari kemudian, atau
tepatnya pada tanggal 26 September pukul empat sore, Orang Laut Belantu tiba di
muara sungai Cerucuk Tanjungpandan menggunakan tiga perahu besar dan beberapa
perahu kecil sambil membawa istri dan anak-anak mereka. Loudon sempat khawatir
kedatangan Orang Laut Belantu diketahui dan diserang kapal perang Aruba. Namun
nyatanya kekhawatiran itu tak terjadi. Menurut Loudon, Orang Laut mengaku
sangat senang atas pengampunan yang telah diberikan kepada mereka.
Tanggal 27 September di Benteng
Tanjong Gunong kembali terjadi percakapan antara Loudon dan Orang Laut. Orang
Laut Belantu mengaku memiliki tiga buah meriam kecil yang dalam Bahasa Melayu
disebut lela. Menurut mereka, satu dari tiga meriam itu dipinjam dari Ngabehi
Belantu dan sudah dikembalikan.
Bukti keterlibatan Ngabehi Belantu
dalam aksi pembajakan di laut semakin kuat. Apalagi kemudian Ngabehi Belantu menulis
surat ke Depati yang isinya tidak bisa datang ke Tanjungpandan memenuhi
undangan Depati. Loudon lalu menganjurkan Depati agar mengirim surat untuk
Ngabehi Belantu.
”Bahwa kalau Ngabehi tidak datang,
dia nanti bisa disalahkan karena telah meminjamkan senjata kepada Sekah-Sekah
untuk dipakai membajak,” kata Loudon.
Siang hari, tiga pemimpin Orang
Laut diminta datang ke Benteng untuk menerima uang atas penyerahan senjata
mereka. Kemudian muncul kabar dari Depati yang meminta Loudon jangan takut
karena ketiga pemimpin Orang Laut tersebut akan datang bersama para anggota
kelompoknya. Menanggapi kabar tersebut Loudon mengatakan pihaknya tidak akan
takut sekalipun yang datang itu 1000 orang.
Akhirnya datang tiga pemimpin Orang
Laut bersama anggotanya yang berjumlah 94 orang. Uang yang dijanjikan diambil
oleh tiga pemimpin tersebut. Loudon kembali menegaskan bahwa uang tersebut
adalah kebaikan pihaknya dan selanjutnya perahu-perahu Orang Laut akan ditaksir
dan dibayarkan kepada mereka.
Gambar 3.8. Perahu kulek di Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Sumber : Dokumentasi Wahyu Kurniawan/2014 |
Loudon punya kedekatan emosional
yang cukup baik dengan komunitas Orang Laut. Dalam bukunya ia juga mengisahkan
saat-saat yang menyenangkan ketika bermain baris-berbaris seperti serdadu
bersama anak-anak Orang Laut Tanjungpandan.
Ketakutan Orang Laut pun semakin
mencair, yang semula masih bertahan, akhirnya bersedia menemui Loudon. Ia
adalah Ma Kotjek, salah satu kepala bajak laut dari kelompok Orang Laut
Belantu. Ma Kotjek datang meminta ampunan dan akhirnya berkumpul bersama
kelompok lain yang sudah lebih dulu tiba.
Momen ini adalah tonggak bersejarah
dalam perjalanan hidup komunitas Orang Laut di Pulau Belitung. Mereka seperti
mendapat harapan hidup yang lebih baik berkat pengampunan. Orang Laut di Sungai
Padang yang dipimpin oleh Ma Moeda juga datang meminta ampunan saat Loudon
dalam perjalanan ekspedisi di kawasan antara Sungai Padang dan Telok Buding. Pada
masa lalu, kelompok Ma Moeda mengaku pernah merampok wangkang Cina dan membunuh
awak-awaknya, dan sejak itu mereka berkeliaran di laut. Loudon kemudian
memberikan ampunan dan menitipkan sebuah surat kepada Ma Moeda untuk diantar
kepada Depati.
Selanjutnya Loudon menepati
janjinya untuk meminta Pemerintah Hindia-Belanda mengampuni kesalahan-kesalahan
Orang Laut di masa lalu. Pada tanggal 7 Desemeber 1851 ia tiba di Jakarta untuk
menanyakan langsung jawaban atas surat resminya kepada kepada Gubernur Jenderal
Mr. A.J. Daymaer van Twist.
Ia mengaku agak kecewa lantaran
keputusan Pemerintah yakni membiarkan apa yang telah dilakukan oleh Loudon
terhadap Orang Laut Belantu. Bagi Loudon, kata ’membiarkan’ membuat Pemerintah
Hindia Belanda terkesan mencela dan menghina tindakan yang telah dilakukan
Loudon pada Orang Laut.
”Saya membacanya sebagai pencelaan
bukannya setuju dan itu membuat saya sedih,” kata Loudon.
Selanjutnya dalam keputusan
tersebut, Orang Laut dijamin tidak akan dipersulit karena kelakuan mereka
asalkan mereka bertingkah laku sebagai penduduk yang berguna. Pada kemudian
hari, kekecewaan Loudon terobati. Pasalnya ia menerima penghargaan dari
Kerajaan Belanda berupa pengangkatan sebagai kesatria penjaga ketentraman
simbol kerajaan Belanda. Alasan pengangatakannya itu karena Loudon dianggap
telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Baik dalam hal mengubah Orang Laut
Belitung dari seorang bajak laut menjadi pekerja biasa dan bertempat tinggal
secara tetap, juga karena membuat kekayaan mineral Hindia-Belanda semakin dikenal
dan meningkatkan penggarapannya.
Sepulangnya ke Belitung, Loudon
langsung mendapat kunjungan Orang Laut yang siap menerima tugas selanjutnya. Permintaan
ini menjadi pemikiran Loudon sehingga dirinya membicarakan urusan itu kepada
Depati. Hasil pembicaraan keduanya menyimpulkan bahwa keberadaan Orang Laut
Belantu harus terus mendapat kontrol. Karena itu perlu menempatkan mereka dalam
satu tempat agar mudah dihubungi dan diawasi. Orang Laut Belantu kemudian
diberikan kesempatan untuk memilih tempatnya sendiri.
”Yang dipilih adalah Pulau
Mengkokong, terletak di tepi barat pulau dan tidak jauh dari muara sungai
Brang. Kemudian atas permintaan mereka, Ma Rantjang yang sudah tua diganti oleh
Mak Mina, yang sebagai tanda kedudukannya diberi baju baru dari laken warna
biru dengan leher baju keemas-emasan dan juga bendera Negeri Belanda. Dia
diberi tugas membangun rumah dan memasang bendera di pulau itu. Kalau
kapal-kapal dagang tampak di perairan, dia harus mengangkat benderanya,” kata
Loudon.
Pulau Mengkokong yang dimaksud
sekarang ini masuk dalam wilayah Desa Lasar, Kecamatan Membalong, Kabupaten
Belitung. Namun pada era tahun 50-an, komunitas Orang Laut berangsur-angsur
meninggalkan pulau tersebut.
Loudon juga ikut andil dalam
pembuatan kebijakan daerah dalam mengatur kehidupan Orang Laut di Belitung. Ia
meminta agar Orang Laut dibebaskan menjual hasil tangkapan laut kepada siapa
pun. Namun Orang Laut harus melaksanakan perdagangannya di Tanjungpandan.
Kebijakan ini muncul karena perahu-perahu asing sering merayu Orang Laut agar
menukar hasil tangkapan mereka dengan beras di tengah laut. Sering pula Orang
Laut diajak untuk menangkap ikan bersama mereka.
Perdagangan di tengah laut dianggap
merugikan daerah dan Orang Laut sering kali menghilang tanpa diketahui ke mana
perginya. Kebijakan ini juga untuk mencegah perbuatan tidak jujur para pemimpin
Orang Laut yang sering membeli hasil penangkapan ikan para anggotanya dengan
harga murah.
Gambar 3.11. Perahu Orang Laut berkumpul di sekitar dermaga Pelabuhan GMB di Tanjungpandan. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927/Repro. |
Loudon juga mencegah Orang Laut Olim
dari Pulau Lepar yang ingin tinggal di Belitung. Hal ini dilakukan karena
kepala dari Pulau Lepar mengklaim Orang Laut tersebut sudah menjadi penduduk
mereka. Orang Laut Olim bersikeras dan memilih tinggal di perairan Tanjung
Kubu. Akibatnya Loudon terpaksa mempersenjatai dua perahu dengan meriam kecil
untuk menakut-nakuti mereka. Cara ini hanya memberikan dampak sesaat karena
Orang Olim kembali lagi. Kali ini Orang Olim sampai merendahkan diri dengan
mengatakan rela digantung asal anak istri mereka diperbolehkan tinggal di
Belitung. Hal ini dilakukan karena mereka mengaku kelaparan dan tidak mau
tinggal di Lepar.
”Depati dan semua penduduk pribumi
menaruh belas kasih pada Orang Laut yang kelaparan itu dan Depati segera
memberi mereka makan nasi,” kata Loudon.
Perbuatan Loudon terhadap Orang
Laut Olim membuat Residen Bangka menuduhnya terlalu banyak campur tangan dalam
urusan masyarakat Bangka. Namun Loudon menjawab bahwa semua dilakukan atas
prosedur yang benar dan Orang Laut Olim merasa puas karena diperbolehkan
menetap di Belitung. Jawab Loudon membuat Residen Bangka sampai menilai
Belitung tak akan pernah sejahtera tanpa merugikan Bangka.
Pola hubungan antara Loudon dan
Orang Laut adalah saling tolong menolong. Artinya, pada sisi lain Orang Laut
juga tak sekadar menjadi pihak yang senantiasa menerima bantuan, tapi juga
memberi bantuan.
Pernah pada Desember 1853 Loudon dan
rekannya Worbert menderita demam yang cukup parah sehingga harus di bawa ke
Toboali. Namun pada saat diperlukan, satu perahu miliknya sedang dalam
perbaikan dan satunya lagi sedang mengambil surat ke kapal pos. Akhirnya Orang
Laut yang membawa Loudon menggunakan perahu dengan enam orang pendayung. Ketika
sadar, Loudon diberitahu bahwa perjalanan dari Tanjungpandan ke Toboali
tersebut berlangsung selama tiga hari. Setelah dua hari dirawat oleh dokter di
Toboali, demam Loudon akhirnya sembuh. Sayang seorang rekan yang ikut
bersamanya tak tertolong akibat demam yang begitu parah. Mungkin jika bukan
Orang Laut yang mengantar, Loudon juga akan mengalami nasib yang serupa seperti
rekannya tersebut.
Pada 11 Desember 1855 Loudon
kembali ke Eropa. Setelah itu sebagian waktunya tidak lagi sepenuhnya terfokus
di Belitung. Namun dalam setiap kunjungannya ke Belitung, Loudon selalu
menyempatkan diri untuk memastikan kondisi Orang Laut.
”Pada salah satu kunjungan di
Belitung, masih ada kesempatan bagi saya untuk mencegah para pengurus di
Belitung membuat peraturan yang mengakibatkan kesedihan bagi teman-teman lama
saya Orang Sekah dari Belantu,” kata Loudon.
Tindakan Loudon bukannya tanpa
dasar. Ia menyakini Orang Laut mungkin akan mendapat perlakuan yang berbeda
ketika dirinya tidak berada di Belitung. Keyakinan itu pun terbukti ketika ia
berkunjung ke Belitung pada April 1857. Setibanya di Belitung ia menemukan adanya
perselisihan yang cukup keras antara pengurus tambang timah Belitung dengan
Orang Laut dari Belantu. Perselisihan
itu membuat Orang Laut menolak untuk menuruti perintah pengurus dan para
pemimpin Orang Laut tersebut juga enggan menemui Asisten Residen
berulang-ulang. Akibatnya, Orang Laut tidak menampakkan diri dan tinggal di
selatan Belitung. Tindakan tersebut membuat Asisten Residen marah dan langsung
menulis surat permohonan kepada Pemerintah agar mengirim kapal perang.
Loudon mendapat kabar tentang
penyebab perselisihan antara pengurus dan Orang Laut. Ternyata ada kapal
pribumi bermuatan beras yang terdampar di laut selatan Belitung. Kapal itu
ditinggal oleh nahkoda dan para awaknya dan kemudian Orang Laut menjarah muatan
kapal tersebut.
Cemas akan nasib Orang Laut, Loudon
pun berusaha mencegah dan memohon kepada Asisten Residen agar menahan surat
tersebut untuk beberapa hari saja. Loudon berjanji akan mengatasi masalah
tersebut. Menurutnya tak mudah menyakinkan Asisten Residen yang merasa terhina
akibat perlakuan Orang Laut tersebut.
Asisten Residen bersedia
menangguhkan laporan dan Loudon langsung bergerak. Pertama yang ia lakukan adalah
menyuruh orang membawa sebuh ’tanda’ darinya untuk Orang Laut Belantu. Tanda
itu berupa baju jas merah flanel yang setiap hari dipakai Loudon. Selain itu
Loudon juga meminta agar para pemimpin Orang Laut Belantu secepatnya datang ke
Tanjungpandan.
”Dua hari kemudian saya menemukan mereka pagi-pagi duduk
di atas tanah di halaman rumah saya, jumlahnya kira-kira 30 orang, seperti
anak-anak nakal dengan mata ke bawah. Atas pertanyaan saya mengapa mereka melanggar janjinya kepada saya, jawaban
mereka, ’lapar!’,” kata Loudon.
Loudon kemudian memberi teguran dan
menyuruh mereka pergi ke Depati dan selanjutnya menemui Asisten Residen. Namun
setengah jam kemudian Loudon menerima laporan Depati bahwa dalam perjalanan
menuju Asisten Residen, Orang Laut menolak menemui Asisten Residen dan kemudian
langsung pergi naik perahu.
Loudon kemudian mengirim perintah
kedua yang isinya sama seperti sebelumnya. Kali ini Orang Laut dari Belantu
datang dengan jumlah yang lebih banyak, yakni sekitar 70-80 orang. Pada
kesempatan itu Loudon meminta Depati untuk datang dan ia berbicara dengan nada
keras bahwa Orang Laut harus mengikuti Depati menemui Asisten Residen. Meski
terlihat enggan, Orang Laut pun akhirnya menuruti perintah Loudon.
Namun setengah jam kemudian mereka
kembali dengan gembira. Mereka menjelaskan kesalahannya kepada Loudon dan
sebagai hukumannya mereka disuruh membongkar muatan sebuah perahu layar
bermuatan beras dan membawanya ke gudang. Sore hari saat sedang berjalan
melalui kampung Loudon mendapati Orang Laut memanggilnya dari kejauhan sambil
berteriak ’sudah kosong tuan’.
”Saya memerintahkan memberikan
mereka beras dengan mengemukakan kalau mereka lapar lagi, mereka harus datang
menemui pengurus untuk meminta beras dan jangan merampok perahu-perahu lagi.
Saya yakin setelah ini mereka tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan lagi
dengan perampokan,” kata Loudon.
Demikian rangkuman kisah Orang Laut
yang dimuat dalam buku Loudon. Kemudian dalam sejumlah buku-buku Belanda
seperti tulisan de Groot, Hedemann, dan Gedenkboek Billiton diakui bahwa Loudon
adalah sosok yang menginspirasi Orang Laut meninggalkan dunia bajak laut sekaligus
memberi pandangan baru mengenai pola kehidupan mereka.
Pesan terakhir dari Loudon tersebut
mengisyaratkan bahwa Orang Laut bisa mengandalkan perusahaan bila mereka ingin
makan. Mungkin karena pesan itu pula yang membuat Orang Laut secara sadar
meninggalkan lingkungan asal mereka di laut dan memilih bekerja di daratan
bersama perusahaan timah tanpa paksaan. Hingga kini penulis juga belum
menemukan adanya catatan yang menyebutkan Orang Laut dipaksa bekerja oleh
perusahaan timah Belanda.
”Orang Laut tidak membutuhkan
banyak, meski pun tenaga mereka kuat, mereka lebih baik tidak bekerja, dan baru
bekerja kalau kelaparan. Orang Laut dari Belantu khususnya sangat berterima
kasih karena pemberian maaf dan selalu siap kalau dibutuhkan,” kata Loudon.
Mempertahankan Kulek Terakhir
Jumlah warga Suku Sawang di Pulau
Belitung terus mengalamai penyusutan dari masa ke masa. Pada tahun 1851, jumlah
mereka tercatat 1.654 jiwa berdasarkan laporan resmi pemerintahan setempat.
Namun Loudon memperkirakan jumlah mereka lebih dari 2.000 jiwa.
Peta Kabupaten Belitung tahun 1856
karya Baron Melvill juga mencantumkan catatan jumlah penduduk Pulau Belitung
per 1 Januari 1856. Dalam peta tersebut dinyatakan jumlah Suku Sawang di Pulau
Belitung sebanyak 2.047 jiwa. Kemudian pada tahun 1870, hasil pendataan De
Groot menunjukkan jumlah Suku Sawang mencapai 2.769 jiwa. Ensiklopedia Hindia
Belanda terbitan tahun 1896 menyebut jumlah Suku Sawang pada tahun 1893
sebanyak 2.993 jiwa. Sedangkan dalam buku ’De
Tinmijnbouw-Onderneming Op Billiton, in algemeene trekken geschetst’ pada
tahun 1900 jumlah mereka diperkirakan mencapai 3000 jiwa.
Puncak populasi Suku Sawang
kemungkinan terjadi pada era tahun 50-an. M. Junus mengatakan jumlah seluruh
warga Suku Sawang di Pulau Belitung mencapai 1.000 kepala keluarga. Namun jumlahnya
kemudian merosot drastis pada tahun 1980 menjadi 150 kepala keluarga atau hanya
sekitar 500 jiwa. Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial pada
1987 menyatakan jumlah warga Suku Sawang di Pulau Belitung hanya 115 kepala
keluarga.
Gambar 3.14. Perempuan Orang Laut.
Sumber : Gedenkboek Billiton, 1927/Repro.
|
Belum tampak jelas faktor penyebab
menyusutnya jumlah warga Suku Sawang di Pulau Belitung. M Junus memduga
penyusutan itu terjadi lantaran sistim pengetahuan Suku Sawang yang masih sederhana.
Kondisi itu membuat Suku Sawang dinilai tidak mampu menghadapi tantangan alam
keras di sekitar lingkungan hidup mereka.
Dugaan Junus ini merujuk pada hasil
penelitian Universitas Riau tahun 1977. Hasil penelitian menunjukkan angka
kamatian Orang Laut di Provinsi Riau terbilang tinggi yakni mencapai 11 persen.
Penyebabnya antara lain penyakit seperti malaria dan muntah berak.
Pada tahun 2016, jumlah warga Suku
Sawang Gantong di Kampong Laut berjumlah 66 kepala keluarga. Mereka tinggal komplek
perumahan berbentuk leter U yang terdiri dari 52 pintu. Sebagian kecil tinggal
membaur di perkampungan. Menurut para sesepuh Suku Sawang Gantong, para istri
mereka rata-rata melahirkan dua orang anak dan hanya sedikit yang melahirkan
lebih dari empat anak. Kasus kematian akibat penyakit sering ditemui pada
keluarga yang memiliki banyak anak.
Sekitar 80 persen warga Suku Sawang
Gantong sekarang ini bekerja sebagai buruh bongkar muat di pertambangan
timah. Sebagian lagi jadi buruh di
pertokoan dan sisanya menjadi nelayan.
Kemampuan mereka sebagai nelayan
juga sudah jauh menurun bila dibandingkan cerita yang dituturkan dalam
buku-buku kuno terbitan Belanda. Sekarang mereka sudah bukan penyelam tripang
yang andal, setidaknya tak seandal seperti saudara-saudara mereka di Juru
Seberang, Tanjungpandan. Bahkan mereka boleh dikatakan tidak mampu untuk
membangun perahu sendiri.
Sekalipun sudah pernah diberikan
bantuan perahu oleh Pemerintah, Suku Sawang Gantong masih sangat kesulitan
untuk mengembangkan usahanya. Akibatnya, penghasilan dari melaut hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari. Aktivitas mereka juga sangat
jauh dari laut. Mereka yang bertahan sebagai nelayan harus menempuh jarak
belasan kilometer untuk sampai ke pangkalan perahu di Gusong Cine. Perahu khas
mereka disebut Prauwok, biasa juga disebut Kulek. Jumlahnya kini memprihatinkan,
yakni hanya tertinggal satu unit saja. Adalah
Kati (70) satu-satunya Nelayan Suku Sawang Gantong yang masih memiliki Kulek.
Namun ternyata perahu miliknya itu adalah perahu produksi Tanjung Kubu, Desa
Batu Itam, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Perahu itu dulu diperoleh Kati
berkat bantuan Pemerintah pada tahun 2002. Terdapat tiga orang Suku Sawang
Gantong yang memperoleh bantuan tersebut. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah
Kulek yang dimiliki oleh Kati, sedangkan dua Kulek lainnya sudah hancur.
Hancurnya Kulek terjadi karena
beberapa faktor. Di antaranya para nelayan Suku Sawang Gantong sudah beralih
menggunakan perahu bermotor penggerak. Perahu ini biasa disebut perahu
ketingting. Selain itu kemampuan Suku Sawang Gantong dalam hal memperbaiki
kapal juga sudah tak seandal dulu lagi.
Kati mengatakan, Kulek yang
dimilikinya masih bertahan berkat kemampuannya dalam memperbaiki perahu. Di
samping itu, Kati juga merasa lebih nyaman melaut menggunakan Kulek yang
digerakkan menggunakan dayung kaki, ketimbang pakai mesin.
Kati adalah generasi Suku Sawang
Gantong yang masih mempertahankan pola hidup seperti nenek moyangnya. Ia
dilahirkan di dalam perahu di Pulau Baguk 70 tahun silam. Sepanjang hidupnya,
Kati tak sekalipun berganti profesi selain menjadi nelayan. Ia tak peduli
walaupun penghasilannya hanya cukup buat makan. Baginya, laut sudah menjadi
bagian dari hidup. Ia bahkan akan merasa lebih sehat ketika berada di laut
ketimbang berlama-lama tinggal di darat.
Gambar 3.16. Tombak Rampang dan replika perahu kulek. Dua barang ini dimiliki oleh Udin. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016. |