Asal Mula Tata Tertib Upacara Nirok Nanggok
PETABELITUNG.COM - Pada suatu hari, waktu itu musim angin berhembus dari Selatan. Air laut masih surut, pada waktu pagi hari Tuk Pancor pergi ke laut mau mencari ikan dan kerang. Hari itu dari pagi hingga air pasang naik tidak seekor pun ikan yang didapatnya. Suatu ketika alat penangkap ikannya kena beberapa ekor ikan dan sebatang bambu, maka bambu itu dibuangnya, tetapi anehnya ketika mereka menarik pukat, bambu itu selalu masuk pukat hingga Tuk Pancor marah. Akhirnya, bambu itu diambilnya dan diamankan ke dalam perahu. Hari itu hasil mereka cukup banyak. Air laut semakin dalam dan hari sudah pukul l2.00. Maka mereka pulanglah sambil mendayung perahunya.
Matahari sudah terbenam ketika mereka sampai di rumahnya. Nek Pancor langsung membersihkan ikan dan memasaknya untuk lauk makan malam dan selebihnya mereka garami untuk diawetkan. Dan Tuk Pancor membersihkan alat penangkap ikannya. Bambu yang didapatnya di laut tadi diletakkan oleh Tuk Pancor di atas tangga rumah. Selesai makan malam maka mereka pun langsung masuk ke kamar dan tidur.
Pagi harinya Tuk Pancor ingin berburu kijang di hutan. Nenek Pancor memasak nasi untuk bekal suaminya. Alat penangkap kijang yang disebut lapun (sejenis jerat) telah disiapkannya. Tuk Pancor hari itu berburu di sebelah utara tempat tinggalnya, di seberang bagian hulu Sungai Pancor yang disebut juga Sungai Tupok. Cuaca pagi hari itu sangat baik, sang matahari bersinar terang. Sewaktu suaminya sudah berangkat berburu, Nenek Pancor bersiap mau menjemur padi di depan rumahnya. Tikar dibentangkan dan padi dihamparkan di atas tikar itu. Untuk menjaga agar tikar tidak ditiup angin, maka tiap sisi tikar itu diletakkan dengan kayu. Salah satu sisi tikar itu diletakkan dengan kayu. Salah satu sisi tikar itu diletakkan dengan bambu yang didapatnya dari laut tadi.
Nek Pancor duduk di atas tangga menjaga jemuran padinya. Suatu keanehan terjadi pada hari itu. Hari yang tadinya cerah dengan tiba-tiba menjadi gelap seperti malam. Awan gelap bergumpal-gumpal di langit dan gerimis pun turun mengawali titik-titik hujan. Gerimis semakin rapat dan tiba-tiba terdengar letusan yang dahsyat. Nek Pancor yang sedang mengangkat jemuran padi, sangat terkejut mendengar letusan itu. Tetapi apa yang didengarnya setelah itu, terdengar tangisan seorang bayi, hampir-hampir Nek Pancor tidak percaya akan kejadian itu. Dipusatkan pendengarannya dan dicarinya di mana arah tangisan tadi. Namun tidak salah, seorang bayi tergeletak di atas belahan bambu yang dijadikannya penindi tikar tadi. Si bayi itu diangkat dibawanya ke rumah. Setelah dibersihkan, bayi diselimuti lalu dipeluk dan ditimang-timang supaya jangan menangis.
Hujan semakin lebat, jemuran padi Nenek Pancor terapung dan berhamburan di halaman rumah. Sungai meluap airnya. Letusan yang dahsyat tadi tidak lain adalah suara bambu pecah dan mengeluarkan bayi tadi.
Tuk Pancor hari itu dapat seekor kijang yang besar dan gemuk dalam perburuannya. Hujan yang lebat tadi bukanlah suatu penghalang bagi Tok Pancor, tidak sedikit pun beliau merasa dingin atau letih karena kegirangan atas keberhasilannya dalam berburu itu. Kijang itu sudah disembelihnya kemudian diikat serta dipikul lalu dibawanya ke rumah. Hujan pun turun dengan lebat sekali. Sepanjang jalan yang dilalui Tok Pancor telah tergenang oleh air. Maka pada suatu tempat yang harus diseberangi, airnya sangat dalam dan titian penyeberangan telah dihanyutkan air, karena itu maka terpaksa Tok Pancor menabung kayu untuk digunakan sebagai titian. Kayu titian itu adalah batang jemang, karena itu tempat itu diberi nama “Titian Jemang”.
Akhirnya tibalah Tuk Pancor di tepi ladangnya dan dari satu rumahnya telah kelihatan. Tuk Pancor berjalan semakin cepat karena sudah merasakan dingin Maka sampailah Tok Pancor di dekat rumahnya, namun dia terkejut dan agak heran sebab dilihatnya hamparan padi sudah terapung di halaman rumah. Cemas dan perasaan curiga pun mulai timbul. Dilihatnya jendela rumahnya tidak tertutup kecuali jendela kamar. Maka dicobanya untuk memanggil istrinya namun tidak kedengaran sahutnya. Dengan perasaan cemas, binatang buruannya diletakkan di atas tangga rumahnya dan beliau langsung masuk ke dalam rumah sambil menggenggam hulu parangnya. Dicarinya Nenek Pancor ke dapur, di sana hanya dilihatnya sebuah periuk yang masih terletak di atas tungku Dilihatnya ke sana kemari, namun tidak juga ditemui nya. Akhirnya beliau masuk ke dalam kamar tempat tidur. Di situ ditemuinya Nek Pancor sedang memeluk seorang bayi. Nek Pancor saat itu meng- isyaratkan agar Tok Pancor jangan ribut. Tok Pancor merasa senang namun timbul pula rasa heran akan kejadian itu.
Ketika Tuk Pancor sedang berganti pakaian, perlahan-lahan Nenek Pancor bangun dan menghampiri suaminya. Ditariknya tangan suaminya lalu diajaknya ke dapur. Di sana Nenek Pancor menceritakan kejadian yang telah dialaminya tadi dari awal hingga akhir. Mendengar cerita itu Tok Pancor merasa heran dan kagum. Alangkah senangnya kedua suami-istri itu atas kejadian tadi sebab kini mereka tidak lagi merasa kesepian. Maka mereka mengangkat anak itu menjadi anak angkat. Bayi itu adalah bayi perempuan dan diberi nama Sri Pingai.
Menjelang sore hari, hujan pun reda ayam-ayam sudah menuju kandang. Tuk Pancor teringat akan kijang hasil buruannya tadi masih terletak di atas tangga dapur. Maka saat itu juga segera Tuk Pancor menghidupkan api di dapur untuk membului kijang itu. Nenek Pancor ingin menolong pekejaan suaminya namun suaminya tidak memperkenankan, agar Nek Pancor tetap menjaga bayi mereka itu Tuk Pancor dengan cekatan mengerjakan dan memasak kijang hasil buruannya. Selesai memasak nasi Tuk Pancor segera memasak daging kijang. Selesai memasak dan makanan telah tersedia maka mereka pun makan secara bergiliran sebab bayinya tidak boleh ditinggalkan jauh. Mereka tidak begitu lahap makan pada waktu itu walaupun lauknya enak, sebab sekarang bahagianya mendapatkan seorang bayi.
Tidur pun pada malam itu mereka bergiliran, seorang tidur seorang menjaga bayi mereka. Mereka tidak merasa mengantuk atau pun letih. Kadang-kadang mereka berkelakar dan menghayalkan masa depan anak angkat kesayangannya. Tidak terlukiskan betapa gembiranya hati kedua suami-istri itu waktu itu.
Beberapa hari setelah itu tersebarlah berita itu baik di dalam maupun di luar kampung. Akhirnya hal itu telah menjadi buah mulut orang-orang kampung.
Hari demi hari. bulan berganti tahun, keluarga Tuk Pancor senantiasa diliputi perasaan bahagia, bayi mereka pun makin lama makin tumbuh dengan sempurna, molek, montok, dan berisi. Seluruh kasih sayang kedua orang tuanya tertumpah kepadanya. Nama panggilan sehari-hari untuk Sri Pingai adalah Dayang atau Katok.
Waktu berjalan terus, laksana aliran Sungai Kembiri yang mengalir bebas ke laut lepas yang tidak mengenal lelah. Tuk Pancor bekerja dengan rajin dan giat untuk menyiapkan bekal di hari tua nanti. Sri Pingai sekarang sudah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik. Sebaliknya Tok Pancor dengan istrinya menjadi seorang tua bangka dan sakit-sakitan. Lama- kelamaan masa sedih bagi Sri Pingai pun datang juga. Tuk Pancor diserang sakit, obatnya telah diusahakan ke sana kemari namun untung tidak dapat diraih; malang tidak dapat ditolak, Tuk Pancor pun suatu saat meninggal dunia. Dan selang beberapa waktu menyusul pula istrinya. Dengan demikian kini Sri Pingai tinggal seorang diri tanpa sanak saudara hidup di dunia. Untuk kenang-kenangan dari orang tuanya sebagai warisan sebuah kalung emas beserta permata yang telah dibuat sendiri oleh Tuk Pancor. Sepeninggal kedua orang tuanya kehidupan Sri Pingai senantiasa diliputi perasaan sedih Walaupun tetangga dekat atau pun famili ayahnya selalu datang menghibur, namun Sri Pingai tetap selalu bersedih. Upacara menghormati arwah orang tuanya selalu diadakan dan setiap hari kuburan kedua orang tuanya selalu dikunjunginya. Setiap hari bila matahari pagi telah mulai keluar, Sri Pingai selalu keluar rumah dan mengharap agar keadaannya akan berubah seperti semasa orang tuanya masih hidup kembali. Bila matahari telah di barat, kembali Sri Pingai meratapi nasibnya yang telah membuatnya sedih. Begitulah keadaan Sri Pingai, tidak seorang pun dari penduduk yang dapat menghiburnya. Dia sering termenung sendirian di sungai tempat pemandiannya. Hari demi hari penderitaan batinnya semakin parah. Kesedihannya ini membuat dia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat kelahirannya. Dia merantau di sepanjang tepian sungai ke hulu dan ke hilir. Kehidupannya sekarang semakin menyedihkan. Kesedihan Sri Pingai semakin bertambah setelah kalungnya hilang di sepanjang perjalanannya. Tiap pagi dan tiap malam dicarinya namun tidak juga didapatnya.
Lama-kelamaan Sri Pingai meninggalkan kampung halamannya sehingga kini telah dilupakan orang, baik di hutan-hutan maupun sepanjang tepian sungai dan tempat pemandian, dia tidak lagi ditemukan orang. Sri Pingai hilang entah ke mana.
Tersebutlah suatu cerita, pada waktu itu masyarakat Kelekak Pancor telah lama kehilangan ketuanya. Salah seorang dari penduduk itu diangkatlah menjadi ketua kampung mereka, yaitu Aji. Beliau ini sering mandi di lemong (bagian sungai yang dalam) yang besar, di Sungai Kembiri. Sungai Kembiri itu bercabang dua, yang dari arah barat disebut Sungai Damparan dan yang dari timur discbut Sungai Kakin.
Beberapa tahun setelah itu penduduk Pancor sering melihat seekor buaya kecil yang jinak dan mempunyai tanda berbintik kuning di lehernya, berenang dari hilir ke hulu dan sebaliknya sepanjang tempat yang dahulu sering dijalani Sri Pingai. Ketika melihat tingkah laku buaya kecil itu, orang- orang Kelekak Tuk Pancor sering menghubungkannya dengan peristiwa Sri Pingai dahulu. Mereka beranggapan bahwa buaya itu adalah penjelmaan Sri Pingai. .
Buaya kecil itu ditangkap dan dipelihara oleh orang Kelekak Pancor di pinggir Sungai Kakin . Makin lama buaya itu makin bertambah besar. Tempat kediamannya pun maka tambah diperlebarnya. Akhirnya membentuk cabang sungai baru. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Simpang Ngedogen.
Setelah besar buaya itu jarang diam di tempatnya. Dia sering hilir-mudik di sepanjang sungai itu. Apabila musim kemarau, lemong kering, orang sering mengambil ikan, maka tidak jarang buaya itu membinasakan orang-orang yang menangkap ikan itu. Karena itu maka sebelum diadakan acara mengambil ikan, terlebih dahulu diadakan upacara. Waktu berjalan terus, perkembangan zaman pun demikian pula, Kelekak Tuk Pancor mulai ditinggalkan orang, hingga akhirnya tinggal sisanya. Separuh penduduk pindah ke Selatan dan separuh pindah ke Timur Laut. Mereka membuka hutan baru. Di daerah Timur Laut penguasanya adalah Kiyai Kelekak Tiang Balai dan di sebelah Selatan dikuasai oleh Kiyai Kelekak Ludai. Di perbatasan kedua daerah kekuasaan inilah terletak bekas kampung Kelekak Pancor. Setiap musim kemarau banyak penduduk dari kedua tempat ini yang datang ke Sungai Damparan (Sungai Pancor), Sungai Kakin (Sungai Tupok), Lemong Titi Jemang, Lemong Aji dan lain-lain untuk mencari ikan. Walaupun kemarau panjang, namun tempat-tempat itu masih berisi air. Di antara keduanya sering terjadi pertengkaran dan perdebatan untuk menguasai daerah itu. Hal ini terjadi karena penduduk kedua daerah itu tidak dapat bersepakat mengenai waktu pengambilan ikan di daerah-daerah itu. Setiap daerah menganggap bahwa merekalah yang berkuasa di tempat itu. Penduduk Tiang Balai menganggap bahwa penduduk Ludai mencuri ikan di wilayah mereka demikian pula se-baliknya. Akhirnya kedua kiai yang berkuasa di situ mengadakan kesepakatan untuk menentukan waktu .pengambilan ikan.
Para kiai setiap musim kemarau jauh-jauh hari telah menentukan orang-orang tertentu untuk pergi memeriksa beberapa sungai tempat mengambil ikan. Kalau ikan sudah banyak, maka sudah waktunya mengadakan upacara penangkapan. Para utusan itu merupakan orang-orang yang dipercaya para Kiyai.
Selesai peninjauan, para utusan memberikan lapuran kepada para kiai untuk menentukan waktu upacara pengambilan ikan. Selesai menentukan waktunya, berbondong-bondong menuju tempat yang telah ditentukan untuk membuat kemah-kemah untuk para kiai serta keluarganya, pemuka-pemuka adat, dukun atau pawang yang berkuasa di tempat itu.
Konon ceritanya, dalam upacara itu, orang-orang itu mendapatkan dua ekor ikan mengkawak yang besar, panjangnya lebih kurang satu setengah meter. Maka diadakanlah acara selamatan setelah mengadakan acara penangkapan ikan. Beberapa jenis permainan diadakan di situ, misalnya beregong, beripat, yang berlangsung di tepi sungai dekat lemong Aji tempat upacara itu. Semua yang mengikuti acara itu berusaha menangkap ikan besar itu. Setelah ada ketentuan bahwa sebelum ikan itu tertangkap, ikan-ikan lainnya tidak boleh diambil. Kedua ikan besar itu akhirnya tertangkap juga dan diberikan kepada kiai. Seekor diantara ikan itu perutnya buncit. Kiai Ludai menginginkan agar ikan yang berperut buncit itu untuk dia, ikan-ikan itu mulai disalai di atas api. Setelah masak, mulai diadakan acara makan bersama. Mereka bersuka ria saat itu. Kiai Ludai makan sangat lahap. Setelah daging ikan habis dimakan, maka kini tinggal bagian perutnya yang belum dijamah. Maka mulai- lah Kiai Ludai membelah perut ikan yang buncit itu. Rupanya bukannya gemuk ikan yang terdapat dalam perut itu, melainkan seekor anak kera, maka dibuanglah ikan itu dan Kiai Ludai tidak meneruskan makan. Selesai kegiatan itu, maka diadakanlah upacara-upacara penutupan yang biasa disebut Nyeco, yaitu upacara Nirok Nanggok Ikan Sampai Habis.
Hingga saat ini upacara penangkapan ikan seperti itu masih dilakukan. Orang-orang di situ masih percaya adanya sumpah penguasa yang memimpin upacara adat di situ yang disebut sumpa kelimak betangkup, yang bunyinya sebagai berikut, "Barang siapa berani mengambil di situ, sebelum tiba waktu penangkapan, maka dia tidak akan selamat." Sumpah ini ada buktinya, sudah banyak orang yang meninggal di tempat itu karena tidak mengindahkan sumpah itu atau pun karena mereka mengambil ikan tanpa mengadakan upacara terlebih dahulu. Sampai saat ini apabila belum ada ketentuan penangkapan ikan oleh para kiai, maka tidak seorang pun yang berani walaupun kelihatan ikannya jinak-jinak dan banyak.
Sumber dari Buku :
Zainal Arifin Aliana, Siti Salamah Arifin, Tarmizi Mairu, Nurbaya As’ad, Maspriyadi. 1992. Sastra Lisan Bahasa Melayu Belitung. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Disalin oleh: Haryanto
Foto master: Pelaksanaan Nirok Nanggok di Lemong Titi Jemang, Desa Kembiri tahun 2018. Haryanto.
Editor : Wahyu Kurniawan.
Sumber : facebook Yant Yanto Haryanto.