Memori Tentang Komplek Timah Aik Ketekok, Sebuah Pemukiman yang Sarat Teknologi dan Harmoni
PETABELITUNG.COM - Kurang lebih 69 tahun lalu berdiri sebuah pemukiman baru di Tanjungpandan, Ibukota Kabupaten Belitung.
Warga sering mengenalnya Komplek Timah Aik Ketekok atau kadang Pelataran Aik Ketekok.
Ia adalah sebuah pemukiman yang dibangun untuk karyawan perusahaan timah di Belitung.
Pemukiman ini tak sekadar sebuah tempat tinggal biasa.
Sebab di dalamnya terdapat sejumlah infrastruktur yang terintegrasi.
Dalam pemukiman ini terdapat pembangkit listrik tenaga disel, yang menyuplai kebutuhan listrik untuk warga komplek dan sekitarnya.
Ada juga kantor telekomunikasi yang menyediakan saluran komunikasi jarak jauh ke 'dunia luar'.
Kemudian di dalam komplek tersebut disediakan pula ruang publik.
Pada ruang publik tersebut disematkan perangkat yang mampu menciptakan pengalaman hidup yang baik bagi warganya.
Perangkat itu ditempatkan dalam satu lokasi, di puncak tertinggi dataran komplek Aik Ketekok.
Perangkat tersebut antara lain sekolah dasar, madrasah, masjid, lapangan olahraga, pentas seni dan hiburan, serta klinik kesehatan.
Sedangkan ruang publik khusus olahraga berupa lapangan sepakbola dan lapangan voli ditempatkan di dataran yang lebih rendah di tepian komplek tersebut.
Sedangkan ruang publik khusus olahraga berupa lapangan sepakbola dan lapangan voli ditempatkan di dataran yang lebih rendah di tepian komplek tersebut.
Masih utuh dalam ingatan Sudharmayudha, alumni SD di komplek tersebut pada akhir tahun 70-an.
Ia mengungkapkan, lingkungan di sekitar SD-nya adalah sebuah ruang publik yang lengkap pada masa itu.
"Lingkungan sekolah SD UPTBEL III dapat dikatakan menjadi pusat kegiatan masyarakat kala itu. SD dengan sarana dan fasilitas penunjang terlengkap di Tanjungpandan. Baik pendidikan, sarana ibadah dan madrasah, sosial budaya dan hiburan TV umum, olahraga hingga fasilitas kesehatan masyarakat," ungkap pria yang akrab disapa Yudha ini dalam sebuah obrolan facebook mengenai SD UPT-Bel III Tanjungpandan, (11/5/2019).
Yudha pun setuju bila konsep tersebut diberi embel-embel smart city.
"Kami setuju dan belakangan di era PT. Timah beberapa bangunan tambahan seperti tempat panggung TV dan ruang madrasah sekaligus ruang kelas VI adalah sumbangan PT. Timah untuk lebih "menyemarakkan" serta menghidupkan semangat pendidikan agama budi pekerti anak-anak. Sehingga terbina hubungan silaturahmi, interaksi dan pengawasan yang saling asih, asah asuh para orangtua dan anak-anak. Masih segar dalam ingatan bagaimana kami merasakan suasana yang begitu kekeluargaan di sini. Mungkin inilah salah satu desain ruang publik yang cukup berhasil," kata Yudha.
Komplek karyawan timah ini pun tak sepenuhya jadi areal eksklusif. Buktinya Emil Marli yang tinggal jauh dari komplek bisa ikut berinteraksi."Walau aku jauh dan tidak bersekolah di situ, tapi lingkungan SD Yagor adalah tempat bermain ku, aku pernah ikut lomba adzan di masjid Nurul Huda itu dan dapat juara," kata Emil Marli.
Keberadaan masjid di ruang publik tersebut tampak pula menyatu. Mereka yang tumbuh besar di lingkungan itu bahkan punya ikatan emosial yang besar pada masjid tersebut.
Alumni yang lebih senior yakni Nani Malik masih ingat bahwa dirinya dulu adalah bagian dari remaja masjid tersebut.
"Kamek remaja masjid waktu duluk e.men sure la uda bemain di lapangan sd. balik dan magrib di mesjid.antare magrib isha kamek gune kan untuk mace puisi atau kegiatan untuk menyambut isroq mi'rad, aku juak belumbe ngaji dpt juak juare.sampai belumbe ngaji e ke mesjid jamek de antar dari ayah..cume dak dpt juare," kata perempuan yang sekarang tinggal di Jerman tersebut.
Namun sejarah kemudian mengajarkan bahwa ruang publik juga membuka peluang terhadap unsur negatif.
Adalah Usni Mariosha yang mengingatkan hal tersebut.
Dalam komentarnya ia pun berseloroh mengenai sisi lain dari ruang publik tersebut.
"Jamannya perusahaan Timah memasang TV umum di lapangan sebelah sekolah, sempat lapangan itu di juluki masyarakat dengan sebutan Planet, entah apa penyebabnya," kata Usni.
Tak lama Pak Sihan pun menyambut ucapan tersebut.
"Nah loe. Mulai muncul deh the other side of tv umum," kata Pak Sihan.
Tak ada yang berani blak-blakkan menjelaskan munculnya 'istilah' tersebut.
Petabelitung.com kemudian menanyai Ardi Kusuma yang kebetulan rumahnya dulu percis di depan lapangan tersebut.
Mendengar istilah 'Planet', Ardi pun langsung tertawa.
Kemudian ia mulai menjelaskan mengenai TV Umum.
Setahunya dulu TV Umum adalah fasilitas hiburan televisi yang disediakan untuk masyarakat umum.
Pada masa tersebut, televisi adalah barang langka.
Akibatnya TV Umum 'diserbu' banyak kalangan yang haus akan hiburan.
"Jadi segala macam orang ngumpul di situ, anak-anak, orang dewasa, tua muda, laki perempuan," kata Ardi.
Berkumpulnya banyak orang tersebut memberi ruang untuk sebuah transaksi terselubung.
Dari transaksi itulah kemudian muncul istilah 'Planet'.
"Jadi istilah Planet itu merujuk ke nama Planet Senen lah," kata Ardi.
Untuk mengetahui tentang apa itu Planet Senen, kalian tinggal buka google dan ketikan pada kolom pencariannya kalimat 'planet senen adalah'.
Maka akan muncul banyak artikel mengenai 'Planet Senen' yang legendaris.
Kini ruang publik tersebut tinggal kenangan.
Pembangkit listrik juga telah berganti menjadi rumah-rumah warga.
Sedangkan kantor telekomunikasi sekarang difungsikan menjadi SMK Negeri 2 Tanjungpandan.
Yang tersisa kini hanya bangunan SD dan masjid yang telah dipugar menjadi lebih besar.
Lapangan yang menyimpan banyak kenangan itu sekarang telah dibangun rumah-rumah pribadi.
Namun dari komplek Aik Ketekok ini kemudian lahir tokoh-tokoh yang berpengaruh di berbagai bidang dan tingkatan.
Ada yang kemudian menjadi wakil gubernur, ketua partai politik, atlet profesional, aktivis lingkungan, penulis dan pemerhati sejarah, seniman dan penggiat budaya, sampai tokoh agama.(*)
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber : petabelitung.com
Foto : Suasana penyerahan hadiah untuk para juara lomba adzan di masjid Nurul Huda komplek timah Aik Ketekok tahun 70-an/ Andy Kunchit.