Ini Catatan Sejarah Kearifan Lokal Masyarakat Belitong 149 Tahun Lalu, Tidak Minum Alkohol dan Tidak Ada Perbudakan
PETABELITUNG.COM - Budaya masyarakat di pulau Belitong sangat mengedepankan aspek kemanusiaan. Tegur sapa, menjaga silaturahmi, dan kasih mengasihi sudah mendarah daging sejak berabad-abad silam.
Hal tersebut bukan hanya diterapkan antar sesama masyarakat Belitong. Tapi juga dengan para tamu atau pendatang dari berbagai daerah dan negara. Bahkan termasuk pula kepada orang dengan berbeda keyakinan.
Penduduk Belitong tetap mempertahankan kearifan lokalnya tanpa pandang bulu. Sampai kemudian hal itu menarik simpati seorang insinyur Belanda Cornelis de Groot untuk menuliskannya
Tulisan itu dimuat dalam Bab Ilmu Bumi, khususnya dalam sub-bab yang menggambarkan penduduk Belitong per 31 Desember 1870, atau sekitar 149 tahun silam.
Sub-bab itu berjudul 'Penduduk Pada 31 Desember 1870: Rakyat Melayu'.
Kalimat-kalimat terakhir dalam sub-bab tersebut secara jelas menyebutkan kearifan lokal yang ada pada masyarakat Belitung.
"Sebelum meninggalkan penduduk Melayu, disini adalah tempatnya untuk menyampaikan beberapa rincian, yang tinggal di memori saya. Perbudakan dan pandelingen di Blitong tidak ada di masa lampau," kata Cornelis de Groot.
Kata Pandelingen adalah sebuah istilah untuk orang yang berhutang kepada si-A, tapi tidak bisa melunasi dengan uang, melainkan sebagai gantinya ia melakukan suatu pekerjaan tertentu menurut janji.
Selanjutnya Cornelis menyebutkan tentang kebiasaan masyarakat Belitung yang jauh dari candu dan minuman keras.
"Penyalahgunaan opium (candu) oleh orang-darat saya belum pernah dengar dan pasti tidak banyak berarti. Beberapa di antara Kepala mereka suka memadat. Tidak pernah saya lihat orang darat minum alkohol," kata Cornelis de Groot.
Maka itu keributan antar warga hampir tak pernah terjadi akibat pengaruh minuman keras. Kalau pun ada keributan kata De Groot, terjadi biasanya karena masalah perempuan.
Dampak keributan antar kaum pria akibat pengaruh miras ternyata pernah dicatat oleh John Francis Loudon dalam bukunya. Paristiwa itu terjadi pada 14 Juli 1851 malam. Tapi bukan melibatkan penduduk lokal, melainkan tentara kolonial.
Kejadian bermula saat Loudon sang pionir perusahaan tambang timah Belitung mengadakan pesta pada tanggal 13 Juli 1851. Tujuannya untuk merayakan penemuan lapisan timah di Lesong Batang.
Loudon juga mengundang komandan kapal perang yang sedang berlabuh di Belitung. Keesokan harinya selepas perayaan, giliran komandan kapal perang yang mengajak awaknya untuk menginap dan berpesta di rumah kopral penjaga benteng.
Loudon masih ingat bagaimana ia sampai terbangun dari tidur akibat kegaduhan yang terjadi pada tanggal 14 Juli 1851 tersebut.
"14 Juli. Malam ini bangun oleh karena ada kegaduhan. Komandan Aruba membawa pembuat layarnya yang menginap di kopral. Mereka diberi minuman di pesta; mula-mula bergurau kemudian berdiskusi mengenai pentingnya senjata mereka ; akhirnya berkelahi dimana mereka saling memukul keras," kata John Francis Loudon dalam bukunya.
Peristiwa tersebut terjadi di benteng Tanjong Gunong yang sekarang terletak di Jalan Dok Tanjungpandan. Keributan itu memang tak sampai merenggut nyawa, tapi kata Loudon dari bekas yang tampak pada muka keduanya, terlihat bagaimana hebatnya perkelahian mereka.
Kendati pertambangan timah era kolonial telah membawa banyak perubahan pada Belitung, baik secara lanskap dan budaya. Namun penduduk Belitung tetap mempertahankan kearifan lokalnya selama 21 tahun awal pertambangan timah tersebut.
"Mengherankan, bahwa Orang Darat mempertahankan sifat baik hatinya, sehingga dari dia disaksikan, bahwa ia suka menolong, ramah tamah, amat jujur dan rajin," kata Cornelis de Groot dalam bukunya.(*)
Baca Artikel Terkait :
Ini 6 Tabiat Orang Darat Belitung yang Harus Kalian Ketahui
Ini Nama-nama Jalan di Kota Tanjungpandan Tahun 1951, Ternyata Sekarang Banyak yang Berubah
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber : petabelitung.com