Highlight Acara Tafsir Syair Pulau Belitung, Bedah Buku Jadul Terbitan Tahun 1920
PETABELITUNG.COM - KPSB Peta Belitung menyelenggarakan acara bertajuk Tafsir Syair Pulau Belitung, Jumat (13/12/2019) malam. Acara ini merupakan kegiatan bedah buku jadul terbitan Balai Pustaka tahun 1920 berjudul Tjerita Si Kantan dan Sja'ir Poelau Belitoeng karya H. Soetan Ibrahim.
Lokasi acara berlangsung di kantor KPSB Peta Belitung, di Jalan Sambas 1 Desa Aik Ketekok, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Hadir sebagai narasumber yakni pemerhati sejarah budaya Belitong Salim YAH, tokoh masyarakat Belitong Rosihan Sahib, dan penggiat sastra sekaligus ketua Dewan Kesenian Belitong (DKB) Iqbal H. Saputra.
Buku karya H. Soetan Ibrahim terbagi menjadi dua bagian. Pertama cerita rakyat tentang Si Kantan dan yang kedua adalah sebuah syair yang berjudul Syair Pulau Belitung.
Bedah buku sesi pertama ini khusus dilakukan untuk mengupas bagian syairnya. Lebih khusus lagi adalah bagian yang isi baitnya berkaitan dengan Tanjungpandan.
Tafsir Syair Pulau Belitung rencananya akan dibagi ke dalam sejumlah sesi. Pada sesi selanjutnya pembahasan akan dilakukan pada bait-bait yang bekaitan dengan daerah Sijuk, Buding, Manggar, Gantung, Dendang, dan Membalong. KPSB Peta Belitung berharap, pembahasan tersebut nantinya dapat melibatkan para penggiat sejarah budaya serta tokoh masyarakat di setiap daerah yang disebutkan.
Sesi 1 Tanjungpandan kali ini dihadiri oleh 14 orang. Keterbatasan ruangan menyebabkan KPSB harus menyesuaikan undangan. Namun hal tersebut disiasati dengan menyelenggarakan acara bedah buku secara live di fans page facebook petabelitung.com.
Secara umum acara berlangsung lancar. Moderator acara diemban oleh Kepala KPSB Peta Belitung Wahyu Kurniawan.
Pada kesempatan pertama Salim YAH mengupas bait per bait syair tersebut dari sudut pandang kesejarahan dan budaya. Ia juga membacakan semua syair tersebut dari bait pertama hingga bait ke-79 yang berkaitan dengan Tanjungpandan.
"Kita ini memang memiliki syair yang bagus, selain ditulis orang luar, ada juga yang ditulis oleh orang Belitung sendiri," kata Salim di penghujung paparannya.
"Jadi memang perkembangan sastra waktu itu sudah lebih bagus, lebih jauh. Dan ini baru dua yagn terungkap, bisa saja ke depan timbul lagi yang lain," pungkas Salim.
Sementara Rosihan Sahib coba menilik lebih jauh mengenai substansi dari bedah buku karya H. Soetan Ibrahim ini. Sebab ia tak ingin acara tersebut hanya seperti kata pepatah "memanjangkan tali kelambu". Namun pada dasarnya ia tetap mengapreasi acara tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah keberanian dan peristiwa mengejutkan.
"Ini suatu keberanian yang luar biasa dan sekaligus peristiwa yang mengejutkan," kata Rosihan di hadapan para audiens.
Ia kemudian melontarkan wacana agar menjadikan acara semacam ini menjadi bagian dari dunia pendidikan Belitong. Maka itu diharapkan ada usaha mengumpulkan para guru untuk mengupas buku-buku kuno bertema Belitong.
Nasumber ketiga Iqbal H. Saputra mengupas Syair Pulau Belitung dalam sudut pandang ilmu sastra dan latar belakang penerbitnya. Menurutnya, secara kebalaipustakaan, teks dalam syair ini terlihat menjalankan politik etik yang dibuat oleh Hindia-Belanda.
Hal itu tampak dengan munculnya bait-bait yang seolah-olah yang mengedepankan pemerintah Hindia-Belanda sebagai pembawa perubahan. Membuat zaman berubah menjadi lebih aman, dan menciptakan sebuah masyarakat yang sentosa baik di hutan maupun di desa. Contoh bait yang dimaksud antara lain seperti berikut ini :
"Laba diambil oleh Pemerinta,
Keoentoengan negeri, radja bertitah;
Maatschappij ta' boleh lagi membantah,
Sebagai di "onderneming" bertanam getah.
Goebernemen menerima keterangan itoe,
Toean Asisten Residen pemeriksa tentoe;
Wakil radja diam disitoe,
Serta Sekretaris dikantor batoe.
Residen, Sekretaris senantiasa,
Kesana sini datang memeriksa;
Biar dikampoeng dihoetan desa
Semoea diatoer hingga sentosa.
Boekan timah sadja dimadjoekan,
Getah ditanam dikerdjakan;
Keoentoengan ra'jat dipikirkan
Berkeboen berladang diperintahkan."
"Jadi teks ini menjalankan fungsi sesuai dengan keinginan Belanda untuk melakukan politik etis yang menurut tafsir saya sangat bermuka dua, di sisi lain terlihat seakan-akan mereka memberikan kesejahteraan, idiologi, pikiran dan sebagainya, di sisi lain mereka terus melakukan kolonialisme," kata Iqbal.
Acara Tafsir Syair Pulau Belitung diselenggarakan secara swadaya oleh KPSB Peta Belitung. Pembiayaannya diambil dari kas KPSB. Acara yang digelar secara sederhana ini tercatat menghabiskan dana senilai Rp 218.500. Setiap narasumber dan undangan datang secara sukarela. Bahkan sebagian mereka datang dari Aik Seruk dan Aik Selumar, Kecamatan Sijuk.(*)
Tiga nara sumber acara Tafsir Syair Pulau Belitung di kantor KPSB Peta Belitung, Jumat (13/12/2019) malam. Dari kiri ke kanan, Iqbal H.Saputra, Rosihan Sahib, Salim YAH. |
Suasana acara Tafsir Syair Pulau Belitung di kantor KPSB Peta Belitung, Jumat (13/12/2019) malam |
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber : petabelitung.com