Ini Daftar Gelar Kehormatan di Belitong Tahun 1872, Mulai Dari Kiai Agus Sampai Tengku
PETABELITUNG.COM - Dalam kebudayaan Belitong terdapat sejumlah gelar kehormatan. Gelar tersebut digunakan baik untuk menunjukkan status kebangsawanan, maupun untuk menghargai derajat seseorang. Namun sekarang sebagian dari gelar-gelar kehormatan tersebut sudah jarang digunakan.
Berikut ini petabelitung.com akan menyajikan catatan kuno tahun 1872 yang memuat nama-nama gelar kehormatan di Belitong. Catatan ditulis dalam laporan Asisten-Residen Belitung Ecoma Verstege dengan judul : Verzameling van vragen, de regten betreffende welke in de Gouvernements landen op Billiton op de onbeboude gronden worden uitgeoefend.
Pada halaman 4-5 dalam laporan tersebut Ecoma mengatakan bahwa Depati merupakan kedudukan tertinggi di Belitung dan memiliki gelar kebangsawanan yang membedakannya dengan yang lain.
"Keturunan dan kerabat Depati dianggap sebagai peringkat tertinggi, dan sebagai perbedaan, membawa gelar bangsawan Kiai Agus," demikian terjemahan bebas dari laporan Ecoma tahun 1872.
Lebih lanjut Ecoma mengatakan gelar lainnya yakni Haji, Penghulu, Encik, dan Tengku.
"Dua yang terakhir (Encik dan Tengku) milik orang Melayu pendatang, dari Pontianak dan Kepulauan Lingga, dan untuk warga bebas disebut Belauw." tulis Ecoma.
Sementara Orang Laut dan Juru dibagi menjadi ke dalam Suku, di mana populasi ini berada di bawah kepala atau kepala keluarga mereka sendiri.
Jadi bila kita runut maka daftar gelar yang dicatat pada tahun 1872 tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kiai Agus
2. Haji
3. Penghulu
4. Encik
5. Tengku
6. Belauw
Gelar Kiai Agus hingga kini masih bisa ditemui di dalam masyarakat Belitong. Penulisan gelar ini biasa disingkat K.A. Sedangkan untuk kaum perempuannya diberi gelar N.A (Nyi Ayu/Nyanyu).
Gelar Haji, Penghulu, dan sebutan Belauw juga masih sering digunakan dalam keseharian masyarakat Belitong.
Sedangkan yang jarang terdengar lagi adalah penggunaan gelar Tengku dan Encik.
Dalam buku "Karya lengkap Abdullah Abdul Kadir Munsyi: Hikayat Abdullah" disebutkan bahwa "Hanya 'anak-anak Melayu' diberi gelar Encik". Hikayat Abdullah adalah sebuah karya sastra Melayu yang ditulis oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dan diterbitkan pada pertengahan abad ke-19 di Singapura.
"Pada umumnya, orang Melayu diberikan julukan "Encik, tak kira pangkatnya. Misalnya, Encik Abu Putih menjadi orang kepercayaan Tengku Long (kemudian Sultan Husein)," tulis Amin Sweeney editor buku tersebut.
Sumber lain mengenai Encik dan Tengku juga bisa kita peroleh dari buku "Bibliografi Beranotasi : Hasil Penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang". Buku ini diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2009. Disusun oleh Hendri Purnomo, S.Sos, Febby Febriyandi YS, S.Sos, Sasangka Adi Nugraha, SS, Irwansyah, SS dan editor Dra. Nismawati Tarigan,
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa gelar kebangsawanan pada masyarakat Melayu terdiri dari beberapa tingkatan, yakni :
1. Gelar Said untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Gelar ini diberikan untuk bangsawan keturunan Arab yang pada masa Kerajaan Melayu menjadi guru agama Islam yang disebut Mufti sebagai penasehat raja (sultan) di bidang agama. Mereka dianggap sebagai keturunan para nabi.
2. Gelar Tengku bagi laki-laki dan perempuan, mereka yang memiliki gelar ini adalah keturunan Raja Melayu yang berdaulat.
3. Gelar Raja bagi laki-laki dan perempuan. Gelar ini diberikan kepada keturunan sultan atau raja yang berdaulat, yang dipilih melalui garis keturunan sultan sebelah perempuan.
4. Gelar Encik bagi laki-laki dan perempuan, diperoleh dari orang-orang yang dekat dengan sultan atau istana, biasanya merupakan pejabat-pejabat kerajaan atau orang-orang kaya.
5. Gelar kebangsawanan "Orang kaya" bagi masyarakat Melayu di Kerajaan Siak, dan "Wan" untuk Daerah Kepulauan Anambas (Pulau Tujuh).
Merujuk pada keterangan ini, dapat diketahui bahwa Tengku dan Encik memang merupakan gelar yang tinggi dalam masyarakat Melayu. Tengku adalah gelar bagi keturunan Raja Melayu, sedangkan Encik adalah gelar untuk orang dekatnya.
Kalian tahu siapa penyandang gelar Tengku di Belitong?
Beliau adalah leluhur Prof. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.
Hal ini diketahui lewat pengakuan Yusril sendiri dalam tulisannya yang berjudul "Kenang-Kenangan di Masa Kecil (Bagian II)". Tulisan ini dimuat dalam website yusril.ihzamahendra.com, pada 13 Desember 2007.
Seperti yang diketahui, Yusril adalah adik dari Bupati Belitung Timur Yuslih Ihza dan juga abang dari Yusron Ihza mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang.
Yusril adalah putra Belitong kelahiran Desa Lalang, Kecamatan Manggar yang pernah menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara Indonesia.
Yusril Ihza Mahendra. Sumber foto: facebook Yusril Ihza Mahendra. repro by petabelitung.com tahun 2020. |
"Haji Taib bukan orang asli Pulau Belitung. Ayah dan paman-paman saya mengatakan Haji Taib sebenarnya adalah seorang bangsawan bergelar tengku yang berasal dari Negeri Johor. Ibu kota Kesultanan Johor di masa itu mungkin masih berada di Pulau Lingga, Kepulauan Riau sekarang, sebelum ada Johor Bahru di Semenanjung Malaya." tulis Yusril.
"Mungkin karena sebab-sebab keluarga dan politik, beliau beserta keluarganya hijrah ke Belitung pada awal abad ke 19. Beliau menanggalkan gelar kebangsawanannya dan hidup sebagai layaknya orang kebanyakan serta menjadi ulama. Kecintaannya kepada agama itu mendorongnya untuk berlayar ke Mekkah dengan perahu yang dibuatnya sendiri. Anaknya Haji Ahmad juga mengikuti beliau berlayar menunaikan ibadah haji." ungkap Yusril.
Syahdan maka terungkaplah maksud daripada Surat Keputusan Pemerintah Hindia-Belanda nomor 9 tanggal 11 Oktober 1838. Surat Keputusan itu berisikan petunjuk pelaksanaan kekuasaan Depati Cakraningrat sebagai penguasa lokal di Belitong. Sejak lama kami memperhatikan satu poin dalam surat keputusan tersebut. Yakni poin 12 yang berbunyi :"Anak-anak Raja Lingga diperbolehkan menetap di Belitung dengan syarat berkelakuan baik".
Sedangkan pada poin sebelumnya yakni poin 4 disebutkan bahwa : Selain dari yang ada sekarang yang sudah ada dari orang-orang luar pulau, dari Lingga dan Johor, tidak diperkenankan lagi orang lain masuk Belitung, dan harus ada izin dari Residen Bangka.
Dalam peta pulau Belitung tahun 1856, terdapat nama sungai Lingga yang kemudian lebih di kenal dengan nama Aik Rayak. Kemudian dalam laporan Akkringa yang ditulis pada bulan Juni 1860 disebutkan sebuah legenda yang didengarnya dari Belitung. Akkringa mengatakan, ada tradisi di antara penduduk pinggiran, bahwa pada zaman kuno 1) permukiman dimulai oleh orang asing di sungai Batu, dekat bukit Sarang Naning. Kemudian ia membuat penjelasan pada catatan kaki mengenai zaman kuno yang dimaksud.
"Nog voor de komst op Billiton van Radja Bikor (zoon van een Radja van Djohor), die eerst op de Poeloe Pekadjang en later op Poeloe Liat eene vestiging aanlegde en menscheneter was."
Terjemahan bebasnya yakni, Zaman Kuno: Bahkan sebelum Belitung kedatangan Radja Bikor (putra seorang Raja dari Johor), yang pertama kali mendirikan sebuah pendirian di Pulau Pekajang dan kemudian pada Pulau Liat dan seorang pemakan manusia.
Oiya, mengenai Haji Taib dikisahkan pula lebih lanjut oleh Yusril. Ia mengatakan, kemungkinan Haji Taib menetap di Badau sewaktu tinggal di Belitung.
"Nampaknya beliau juga tidak tinggal di Manggar, tempat sebagian besar keluarga ayah saya menetap. Salah seorang paman saya mengatakan Haji Taib menetap di Badau. Namun ada salah seorang paman saya yang mengatakan bahwa makam beliau ada di Kampung Gunung di kota Manggar. Saya tidak terlalu yakin dengan keberadaan makam itu. Paman saya Adam dan ayah saya, yang sering berziarah ke makam Haji Ahmad, tidak pernah menziarahi makam Haji Taib, andaikata makamnya terletak di lokasi yang sama. Di Badau memang pernah ada sebuah kerajaan kecil pada abad ke 18-19. Mungkin kedatangannya ke Belitung dari Negeri Johor, mendapat sambutan yang baik dari keluarga Kerajaan Badau. Kampung Badau merupakan salah satu kampung tertua di Pulau Belitung, di samping Sijuk dan Buding. Konon makam Diah Balitung, seorang putri dari Jawa (mungkin dari Kerajaan Kediri di Jawa Timur) juga ada di Badau. Apakah nama putri itu yang kemudian dipakai untuk menamai pulau ini Pulau Belitung, saya belum pernah menyelidikinya." demikian ungkap Yusril.
Wah panjang juga ya guys jadinya. Satu lagi yak soal Encik. Gelar satunya ini juga sempat tercatat dalam sejumlah laporan kolonial. Di antara nama dengan gelar Encik tersebut yakni Encik Bungsu (catatan tahun 1686). Encik Bungsu datang dari Belitung ke Kesultanan Bima dalam rangka membawa surat Raja Sakti dari Belitung. Dalam catatan kolonial disebutkan kedatangan Encik Bungsu itu disambut meriah oleh Kesultanan Bima di Nusa Tenggara Barat.
Sekian dulu ya guys ulasan tentang Daftar Gelar Kehormatan di Belitong Tahun 1872.
Semoga bermanfaat.(*)
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com
Artikel terkait: Kumpulan Nama dan Gelar Para Tokoh di Belitung dan Bangka Tahun 1668
Foto ilustrasi: Dari kanan ke kiri, Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad kakek Yusril Ihza Mahendra, Haji Arsad dari Pulau Seliu, K.A. Hanafiah Demang Manggar. Sumber: yusril.ihzamahendra.com. KPSB Peta Belitung. repro by petabelitung.com tahun 2020. |