Profil Raja Sampura: Bawa Bahan Peledak Dari Batavia ke Belitong, Dapat Gelar di Banten Sampai Jadi Raja di Bangka
PETABELITUNG.COM - Ini adalah lanjutan ulasan kisah Raja Sampura di Belitong. Sebuah kisah yang dicatat dalam lembaran-lembaran laporan VOC sejak 352 silam. Dua artikel sebelumnya telah mengulas bentuk dan lokasi kediaman beliau Sampura tersebut. Bagi yang belum sempat baca, silahkan klik dulu link berikut ini :
Catatan Kuno Tentang Balai Besar Raja Sampura di Belitong Deskripsinya Mirip Istana Kota Bharu Malaysia
Ternyata Kediaman Raja Sampura di Belitong Disebut Berada di Sungai Kubu
Baik.
Ulasan kali ini akan sedikit lebih panjang guys.
Persiapkan diri kalian sekarang.
Awal kisah Raja Sampura dalam catatan VOC dimulai pada tanggal 22 Mei 1668.
Pada hari itu tiba sebuah kapal di Batavia dari Belitung. Kapal itu dikomandoi langsung oleh pemiliknya. Nama pemilik kapal itu yakni Kiahi Sampura. Keterangan ini dimuat dalam buku seorang Dosen Sejarah Kolonial di Universitas Amsterdam, Belanda bernama F.W Stapel. Buku terbitan tahun 1938 itu berjudul ‘Aanvullende gegevens omtrent de geschiedenis van het eiland BILLITON en het voorkomen van tin aldaar’ yang artinya kurang lebih ‘Informasi tambahan mengenai sejarah Pulau Belitung dan penemuan timah didalamnya’.
"Kiahi Sampura menyebut dan memperkenalkan dirinya sebagai raja atau penguasa dari kepulauan Bangka dan Belitung," tulis Stapel dalam bukunya halaman 15.
Baru sebulan di Batavia, Sampura kemudian mengontak pejabat setempat untuk menyampaikan surat permohonannya kepada VOC tanggal 22 Juni 1668. Sembilan belas hari kemudian surat itu direspon petinggi VOC.
"Pada 10 Juli 1668 perihal surat tersebut (tanggal 22 Juni 1668) dijadikan lagi pembicaraan oleh VOC dengan dihadiri juga oleh Sampura dan seterusnya dibuatlah surat perjanjian antara kedua belah pihak dengan ditandatangani. Perjanjian tersebut dibuat dalam bahasa Belanda dan Melayu," tulis Stapel.
Berselang dua hari kemudian, Sampura pulang dengan kapalnya ke Belitung. Sebelum pulang, Sampura sempat berbelanja bahan-bahan pakaian dan peralatan perang di Batavia.
"Kapalnya membawa muatan yang utamanya bahan-bahan pakaian dan juga membawa beberapa peralatan perang yang dibeli oleh Sampura di Batavia dengan perjanjian akan dibayar di Belitung, terdiri dari 2 pucuk meriam besi dengan 50 pelurunya, 16 pelempar api, 1 pikul peluru, 50 tempaya bahan peledak,"
"Menurut catatan Register Harian Batavia, Sampura berangkat pulang ke Belitung pada tanggal 12 Juli 1668 dengan diiringi oleh kapal perang kecil bernama De Zantlooper dibawah komando Jan de Harde," demikian tulis Stapel dalam bukunya.
Bagaimana bisa Sampura mempengaruhi VOC?
Tentu hal itu sangat berkaitan dengan surat permohonanya.
Surat tersebut ditulis dalam bahasa Melayu beserta terjemahan Bahasa Belanda.
Simak kutipan isi surat Sampura kepada VOC berikut ini.
"Kepada Yang Mula Tuan Joan Maetsuyker, Gubernur Jenderal pemegang kuasa tertinggi VOC bersama Dewan Rakyat Hindia-Belanda. Memaklumkan Kiay Sampoera Kepala Tertinggi dan Penguasa di Kepulauan Bangka dan Belitung menyampaikan satu pernyataan..."
Menurut Sampura, dulu ia selalu didekati oleh Raja-raja Jambi, Johor, dan Banten untuk keperluan penyerahan upeti-upeti dengan maksud agar dirinya berada di bawah Raja-raja tersebut. Tetapi Sampura mengaku selalu menolak dan tidak mematuhi permintaan Raja-raja tersebut.
Dari peristiwa tersebut Sampura memutuskan tibalah saatnya ia harus mendapatkan pelindung supaya ia dan rakyatnya dapat berlindung dari musuh-musuh.
Sampura mengatakan permusuhannya dengan Palembang sebenarnya karena dirinya tidak mau tunduk dan mengakui Raja Palembang sebagai pelindung. Sedangkan permusuhannya dengan Lampung hanya dilatari ketidaksetujuannya untuk memperkuat perompakan-perompakan yang dilakukan oleh mereka. Jika VOC bersedia memberikan perlindungan, maka Sampura beserta rakyatnya akan selalu setia kepada kompeni.
"Dan jika permohonan ini dapat diterima oleh Yang Mulia, maka Sampura bersedia membuka hubungan perdagangan dari kedua pulau tersebut yang antara lain berupa lilin, kayu garu, besi, kulit penyu, sarang walet, dan lain-lain. Dan kompeni adalah satu-satunya yang punya hak untuk mendatangkan pakaian-pakaian dari pantai Bengali dan Persia untuk kedua pulau tersebut.." demikian isi surat Sampura seperti yang dikutip oleh Stapel.
Mengenai Jan de Harde, berikut ini ringkasan tugas yang diterimanya dari pimpinan VOC.
De Harde harus mendapatkan keterangan yang jelas apakah betul Sampura adalah Sultan dari dua pulau tersebut dan sampai dimana kekuasannya. Selanjutnya De Harde harus datang langsung ke tempat dan melihat langsung kedua pulau tersebut dan ke tempat-tempat yang ada namanya dan mencatatnya ke dalam peta yang ada.
Sesuai kesepakatan, kontrak antara Sampura dan VOC harus diketahui dan juga ikut ditanda tangani oleh pembesar-pembesar pemerintahan setempat.
Untuk pembayaran alat-alat perang yang belum dibayar, jangan terlalu didesak. Tetapi harus diterangkan kepada pembesar-pembesar setempat supaya mereka membayar cicilan setiap tahun, yang nilanya bukan dilihat dari banyaknya, tapi semata-mata dilihat dari pengakuan terhadap VOC sebagai pelindung.
Jika sekiranya pembesar-pembesar setempat tidak mau mengakui kontrak yang telah dibuat, maka Jan de Harde harus membawa kembali pulang peralatan-peralatan perang yang dibawa Sampura, kecuali meriam dengan pelurunya.
Demikian tugas yang diberikan VOC kepada Jan de Harde untuk menindaklanjuti kontrak dengan Sampura. Namun belum diketahui bagaimana kisah Jan de Harde sampai kehilangan jejak Sampura.
Namun yang jelas ia mengaku melihat langsung kediaman Sampura di Belitung.
"Tempat kediaman Sampura di Belitung adalah seperti sarang-sarang perompak seperti tempat pembunuhan saja," demikian keterangan Jan de Harde seperti yang dikutip Stepel dalam bukunya.
Lebih lanjut disebutkan bahwa Stapel menerima informasi dari nelayan. Bahwa hasil-hasil utama dari pulau Belitung adalah kulit penyu, lilin, kayu-kayuan, sarang burung walet, damar, dan besi.
"Dari nelayan-nelayan De Harde mendengar bahwa penghuni-penghuni pulau Belitung terdiri dari orang-orang jahat, pencuri atau perompak, dan pelarian-pelarian dari berbagai tempat dan mereka berusaha menguasai pulau ini dan berusaha membuat keonaran terhadap regent dari Palembang yang memerintah di pulau Belitung," tulis Stapel.
Seperti yang telah dilansir petabelitung.com sebelumnya, Jan de Harde mengaku mendapat keterangan bahwa Raja Sampura bukanlah raja negeri Belitong.
"Raja Sampura bukan Raja dari negeri Belitong, tapi bekas seorang wakil komandan di Bangka yang diusir oleh penguasa Palembang, dan kemudian pindah ke Belitung dan menetap di sungai Kubu," kata Jan de Harde dalam laporannya.
Selanjutnya Jan de Harde mendapat keterangan bahwa para pembesar di Bangka dan di Belitung tidak mengetahui sama sekali kepergian Sampura ke Belitung. Menurut mereka, hal itu dilakukan Sampura semata-semata karena dendamnya terhadap Palembang. Sehingga ia bertekad membuat kontrak dengan kompeni di Batavia.
Panjang juga ya guys, kisah Sampura ini.
Kita lanjut sedikit lagi ya.
Jan de Harde kemudian membuat kontrak baru dengan pembesar-pembesar di Bangka di sebelah timur Bangka, pada pada 25 Agustus 1668. Dalam kontrak baru itu, tidak disebutkan nama Belitung seperti halnya pada kontrak sebelumnya di Bangka.
Kepada Jan de Harde para pembesar di Bangka meminta agar VOC segera mungkin menduduki Bangka karena mereka takut sekali dengan Palembang. Jan de Harde berjanji akan menyampaikan permintaan tersebut. Namun pimpinan VOC di Batavia tidak bisa memenuhi permintaan tersebut lantaran memiliki hubungan dagang dengan Pelembang. Kabar tersebut membuat para pembesar di Bangka kecewa dan mereka kemudian mencari perlindungan ke pihak lain yakni Sultan Banten pada tanggal 23 Oktober 1671.VOC menyikapi hal tersebut dengan menyatakan tidak akan ikut campur dalam urusan Bangka dan Pelembang.
Singkat kata, pada tanggal 15 Mei 1672 Jan de Harde kembali diutus ke Bangka untuk menyikapi kabar burung tentang kedatangan kapal Perancis.
"Sewaktu ia tiba di Bangka pada tanggal 29 Mei 1672 berita pertama ia dapat bahwa Sampura telah menjadi Raja di pulau Bangka dan pada waktu itu Sampura sedang berada di Belitung. Selama ia tidak berada di Bangka, yang bertindak sebagai wakilnya adalah pamannya dan seorang sepupunya," tulis Stapel.
"Jan de Harde juga mendapat keterangan bahwa pada bulan yang lalu, Sampura berada di Banten dan sepulangnya dari sana dia membawa hadiah-hadiah yang berharga dan mendapatkan nama kehormatan Kiahi Dipatih Souria-Laga. Nama kehormatan ini ia dapat dari Sultan Banten sebagai anugrah," tulis Stapel.
Tanggal 6 Juni 1672 Jan de Harde berangkat menuju Belitung untuk menemui Sampura. Kemudian tanggal 14 Juni 1672 ia tiba di muara sungai Kubu dan disambut oleh beberapa orang Melayu. Namun Jan de Harde tidak mengetahui bahwa yang datang menyambut itu adalah mata-mata Sampura. Mereka memberikan informasi yang membingungkan Jan de Harde. Mereka mengatakan beberapa waktu lalu Sampura dibuat malu saat berada di Batavia sehingga ia kemudian mencari perlindungan kepada Sultan Banten.
"Baru besoknya ia menyadari 12 perahu yang berpura-pura sedang mencari ikan tiba-tiba menyerang kapal Jan de Harde dengan tombak dan kapak. Anak buah Jan de Harde memang tidak berjaga-jaga saat itu. De Harde dengan anak buahnya mencoba mempertahankan diri tapi mereka harus mengalami kepahitan, seorang anak buah Jan de Harde mati dan 10 orang lainnya luka-luka termasuk Jan de Harde sendiri yang mengalami luka yang parah. Ia kemudian memutuskan pulang ke Bangka dengan catatan; dari Belitung tidak ada harapan yang baik lagi," tulis Stapel.
Sewaktu tiba di Bangka, Jan de Harde mendapat kabar bahwa sewaktu dirinya di Belitung ada dua kapal dari Banten datang ke Bangka. Penduduk kemudian memilih berpihak kepada Banten dan tidak menyukai kompeni. Jan de Harde kemudian mengundang para kepala-kepala terkemuka di Bangka ke kapalnya untuk berundung. Namun para kepala tersebut menolak dengan kata-kata yang sombong.
"Tidak ada lagi yang dapat diusahakan Jan de Harde dan diputuskan pulang kembali ke Batavia dengan membawa 24 serdadu yang sebelumnya ditempatkan di Bangka. Satu-satunya tugas De Harde hanyalah dapat memperbaiki peta yang dipakai selama ini. Mulai dari tanggal 23 Juli 1672 hubungan Batavia dengan kedua pulau - Bangka dan Belitung - putus," demikian tulis Stapel.
Demikianlah kisah Raja Sampura yang jadi pembicaraan VOC sejak 352 tahun silam. Hingga kini masih banyak tanda tanya mengenai sosok Raja Sampura tersebut.
Tampaknya VOC mengalami kerugian akibat menjalin kontrak dengan Sampura. Sebab setelah pertemuan di Batavia pada 10 Juli 1668, tidak sekalipun utusan VOC berhasil bertemu langsung dengan Sampura.
Masyarakat Bangka secara umum juga tidak mengenal sosok Raja Sampura tersebut.
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung Akhmad Elvian meyakini bahwa Sampura adalah tokoh nyata, bukan fiksi. Sebab nama Sampura tercatat dalam Daghregister van Batavia. Menurutnya, Sampura sama seperti penguasa penguasa lokal di Bangka pada umumnya seperti Lengan, Gegading dan Batin.
"Ketika undercoopman Jan de Harde ke Bangka (1668), kebanyakan para Batin di Bangka menolak dan tidak mengakui perjanjian dengan VOC yang ditandatangani oleh Sampoera," kata Elvian kepada petabelitung.com, Jumat (15/5/2020).
Wah panjang juga ya kisahnya Guys.
Yang jelas, catatan ini masih harus dikaji lebih lanjut.
Sebab sejauh yang kami ketahui, di Belitung juga belum ditemukan satu cerita rakyat pun yang menyebutkan kisah Raja Sampura.
VOC juga sudah berkesimpulan bahwa beliau Sampura ini bukan raja di Belitung.
Jadi tentunya tidak ada yang namanya Kerajaan Sampura dalam catatan VOC.
Namun setidaknya catatan ini menjadi satu peninggalan berharga untuk memperkaya kajian dan narasi tentang sejarah Belitong dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada umumnya.
Selamat berimajenasi ya guys.
Cintai selalu sejarah budaya Belitong sebagai bagian dari kekayaan sejarah Indonesia dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Semoga bermanfaat.(*)
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com
"Sewaktu ia tiba di Bangka pada tanggal 29 Mei 1672 berita pertama ia dapat bahwa Sampura telah menjadi Raja di pulau Bangka dan pada waktu itu Sampura sedang berada di Belitung. Selama ia tidak berada di Bangka, yang bertindak sebagai wakilnya adalah pamannya dan seorang sepupunya," tulis Stapel.
"Jan de Harde juga mendapat keterangan bahwa pada bulan yang lalu, Sampura berada di Banten dan sepulangnya dari sana dia membawa hadiah-hadiah yang berharga dan mendapatkan nama kehormatan Kiahi Dipatih Souria-Laga. Nama kehormatan ini ia dapat dari Sultan Banten sebagai anugrah," tulis Stapel.
Tanggal 6 Juni 1672 Jan de Harde berangkat menuju Belitung untuk menemui Sampura. Kemudian tanggal 14 Juni 1672 ia tiba di muara sungai Kubu dan disambut oleh beberapa orang Melayu. Namun Jan de Harde tidak mengetahui bahwa yang datang menyambut itu adalah mata-mata Sampura. Mereka memberikan informasi yang membingungkan Jan de Harde. Mereka mengatakan beberapa waktu lalu Sampura dibuat malu saat berada di Batavia sehingga ia kemudian mencari perlindungan kepada Sultan Banten.
"Baru besoknya ia menyadari 12 perahu yang berpura-pura sedang mencari ikan tiba-tiba menyerang kapal Jan de Harde dengan tombak dan kapak. Anak buah Jan de Harde memang tidak berjaga-jaga saat itu. De Harde dengan anak buahnya mencoba mempertahankan diri tapi mereka harus mengalami kepahitan, seorang anak buah Jan de Harde mati dan 10 orang lainnya luka-luka termasuk Jan de Harde sendiri yang mengalami luka yang parah. Ia kemudian memutuskan pulang ke Bangka dengan catatan; dari Belitung tidak ada harapan yang baik lagi," tulis Stapel.
Sewaktu tiba di Bangka, Jan de Harde mendapat kabar bahwa sewaktu dirinya di Belitung ada dua kapal dari Banten datang ke Bangka. Penduduk kemudian memilih berpihak kepada Banten dan tidak menyukai kompeni. Jan de Harde kemudian mengundang para kepala-kepala terkemuka di Bangka ke kapalnya untuk berundung. Namun para kepala tersebut menolak dengan kata-kata yang sombong.
"Tidak ada lagi yang dapat diusahakan Jan de Harde dan diputuskan pulang kembali ke Batavia dengan membawa 24 serdadu yang sebelumnya ditempatkan di Bangka. Satu-satunya tugas De Harde hanyalah dapat memperbaiki peta yang dipakai selama ini. Mulai dari tanggal 23 Juli 1672 hubungan Batavia dengan kedua pulau - Bangka dan Belitung - putus," demikian tulis Stapel.
Demikianlah kisah Raja Sampura yang jadi pembicaraan VOC sejak 352 tahun silam. Hingga kini masih banyak tanda tanya mengenai sosok Raja Sampura tersebut.
Tampaknya VOC mengalami kerugian akibat menjalin kontrak dengan Sampura. Sebab setelah pertemuan di Batavia pada 10 Juli 1668, tidak sekalipun utusan VOC berhasil bertemu langsung dengan Sampura.
Masyarakat Bangka secara umum juga tidak mengenal sosok Raja Sampura tersebut.
Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung Akhmad Elvian meyakini bahwa Sampura adalah tokoh nyata, bukan fiksi. Sebab nama Sampura tercatat dalam Daghregister van Batavia. Menurutnya, Sampura sama seperti penguasa penguasa lokal di Bangka pada umumnya seperti Lengan, Gegading dan Batin.
"Ketika undercoopman Jan de Harde ke Bangka (1668), kebanyakan para Batin di Bangka menolak dan tidak mengakui perjanjian dengan VOC yang ditandatangani oleh Sampoera," kata Elvian kepada petabelitung.com, Jumat (15/5/2020).
Wah panjang juga ya kisahnya Guys.
Yang jelas, catatan ini masih harus dikaji lebih lanjut.
Sebab sejauh yang kami ketahui, di Belitung juga belum ditemukan satu cerita rakyat pun yang menyebutkan kisah Raja Sampura.
VOC juga sudah berkesimpulan bahwa beliau Sampura ini bukan raja di Belitung.
Jadi tentunya tidak ada yang namanya Kerajaan Sampura dalam catatan VOC.
Namun setidaknya catatan ini menjadi satu peninggalan berharga untuk memperkaya kajian dan narasi tentang sejarah Belitong dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada umumnya.
Selamat berimajenasi ya guys.
Cintai selalu sejarah budaya Belitong sebagai bagian dari kekayaan sejarah Indonesia dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Semoga bermanfaat.(*)
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com
Gambar ilustrasi. Sumber: kiri www.gutenberg.org, kanan www.thephuketnews.com. Repro petabelitung.com 2020. |
Keterangan tentang kedatangan Sampura di Batavia dan isi surat Sampura untuk petinggi VOC di Batavia. F.W. Stapel/repro petabelitung.com tahun 2020 |
Keterangan tentang isi surat Sampura untuk petinggi VOC di Batavia. F.W. Stapel/repro petabelitung.com tahun 2020 |
Keterangan tentang kontrak Sampura dengan VOC di Batavia. F.W. Stapel/repro petabelitung.com tahun 2020. |
Keterangan tentang belanja peralatan perang Sampura di Batavia. F.W. Stapel/repro petabelitung.com tahun 2020. |
Keterangan tentang Raja Sampura yang menjadi Raja di Bangka pada tahun 1672. FW Stapel 1938/repro petabelitung.com tahun 2020. |
Terjemahan Pak Abu Hasan berisi keterangan tentang Raja Sampura yang menjadi Raja di Bangka pada tahun 1672. Terjemahan buku FW Stapel oleh H.Abu Hasan Manggar, 1983/repro petabelitung.com. |