Resensi Buku De Eerste Jaren Der Billiton-onderneming
Buku yang berjudul De Eerste Jaren Der Billiton-onderneming ini adalah buah pena dari John Francis Loudon. Buku tersebut berisikan pengalaman seorang John Loudon tentang pergumulannya dengan timah yang ada di Pulau Belitung. Buku ini ditulis oleh John Loudon dengan gaya catatan harian (logbook). Melalui buku ini kita bisa menilik bagaimana upaya penyangkalan John Loudon dan timnya terhadap berbagai klaim yang muncul soal kenihilan timah di Belitung. Berbagai upaya negasi (penyangkalan) tadi, telah berhasil mengukuhkan John Loudon sebagai seorang pionir usaha pertambangan besar di Belitung. Melihat latar belakang Loudon yang demikian, maka buku De Eerste Jaren Der Billiton-onderneming yang ditulis olehnya menjadi sesuatu yang tidak bisa ditampikan sebagai khazanah sejarah Pulau Belitung.
Bersua dengan Baron van Tuyll: Awal Mula Pergulatan
John F. Loudon dengan Timah Belitung
Pembahasan buku ini dimulai dengan narasi soal pertemuan John Francis Loudon dan Baron van Tuyll. Pertemuan ini terjadi pada tahun 1849. Pada pertemuan tersebut, banyak dibicarakan tentang keberadaan timah di Pulau Belitung. Baron van Tuyll juga menyampaikan bahwa dirinya dan Pangeran Hendrik sudah mengajukan konsesi kepada pemerintah Belanda terkait eksploitasi timah di Belitung. Kemudian pada bulan Oktober 1850, John Loudon yang tengah berada di Paris mendapatkan kabar bahwa dirinya ditunjuk oleh Pangeran Hendrik sebagai penanggung jawab atas usaha perintisan pertambangan timah di Belitung. John Loudon dalam tugas barunya ini dibekali dengan dana setengah juta Gulden. Sembari menunggu keberangkatannya ke Hindia Belanda, John Loudon terlebih dahulu menuju Cornwallis, Inggris demi mempelajari cara pengelolaan timah, peleburan, dan lain sebagainya.
Berangkat ke Hindia Belanda: Perasaan John Loudon yang
Sempat Sayu
Pada buku De Eerste Jaren der Billiton-onderneming (1883: 7-8), John Loudon dan Baron van Tuyll
bertolak ke Batavia dari Southampton, Inggris pada 18 Januari 1851. Saat
kapalnya telah sampai di Singapura, John Loudon menerima kabar dari Dr.
Croockewitt —seorang peneliti yang ditugaskan— bahwasanya Pulau Belitung nihil
akan kandungan timah. Pada bukunya itu, John Loudon menuangkan perasaan sedih
dirinya dan kolega saat mendengar laporan penelitian tersebut. Akan tetapi John
Loudon beserta koleganya tidak patah arang. Sesampainya di Batavia —pada 12
Maret 1851, John Loudon segera mengirimkan Corneelis de Groot untuk melakukan
penelitian ulang tentang keberadaan timah di Belitung.
Sementara itu sambil menunggu hasil penelitian de Groot, John Loudon mengisi waktu luangnya di Batavia dengan menyelidiki berbagai arsip dan keterangan mengenai Pulau Belitung. Lamun, hasilnya tetap sama. Catatan soal eksistensi timah Belitung masih nihil. John Loudon lagi-lagi tidak patah semangat. John Loudon terus mencari keterangan hingga kemudian mendapati bukti dari Kapten Kuhn yang pernah bertugas di Belitung. Kapten Kuhn bersaksi, bahwa dirinya melihat sendiri penggalian dan peleburan timah oleh penduduk lokal Belitung. Berdasarkan kesaksian dari Kapten Kuhn ini, John Loudun menjadi yakin bahwa Belitung memang memiliki kandungan timah. Untuk itulah John Loudon beserta koleganya bertolak ke Muntok, Bangka (12 Juni 1851) terkait penelusuran lebih jauh soal Belitung. Pada tanggal 18 Juni 1851, John Loudon pergi menemui kepala pelabuhan (syahbandar) Muntok. Melaluinya diperoleh keterangan, bahwa syahbandar Muntok sering mendengar dari pedagang yang singgah tentang timah Belitung. Lantas, John Loudon semakin yakin dan memutuskan untuk berlayar ke Pulau Belitung.
John Loudon Tiba di Pulau Belitung (1851) dan
Deskripsinya Tentang Pulau Belitung
Menurut catatan John Loudon (1883: 15),
dirinya dan kolega tiba di Belitung, tepatnya Tanjungpandan pada 27 Juni 1851.
Sebelum menuliskan lebih jauh soal aktivitasnya di pulau ini, John Loudon
terlebih dahulu memaparkan Pulau Belitung secara umum, seperti tentang
sejarahnya, kehidupan sosial-ekonomi, dan kondisi demografi.
John Loudon menjelaskan bahwasanya
hingga tahun 1812, Pulau Belitung—bersama dengan Bangka —menjadi wilayah
kekuasaan Palembang. Setiap tahun, Pulau Belitung harus mengirimkan upeti
kepada sultan Palembang berupa 1.000 batang besi, 50 tikar, 2 kati[1]
garu, 2 kati lilin, dan lain-lain. Selanjutnya pada tahun 1821, Pulau Belitung
diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada saat John Loudon berlabuh
(1851), adminastrasi di Pulau Belitung terbagi atas beberapa distrik, seperti
distrik Tandjong Pandan, Sidjok, Boeding, Badau, Blantoe, dan Lingan[2].
Distrik-distrik tersebut dikepalai oleh seorang ngabehi, terkecuali distrik Tandjong Pandan dan Lingan yang
dikepalai oleh depati. Jabatan ngabehi
diangkat langsung oleh depati melalui persetujuan terlebih dahulu dengan Hindia-Belanda. Antara jabatan ngabehi dan
depati, terdapat privilese (hak istimewa) yang berbeda. Tiap tiga bulan sekali,
seorang depati memperoleh subsidi dari pemerintah, berupa f 600, 81,5 pikul[3]
beras, dan 90 pikul garam. Seorang depati juga membawahi polisi sebagai
pembantunya. Beda halnya dengan ngabehi, yang hanya memperoleh 30 sen dan itu
pun dari pajak penduduk. Lantas, jelaslah bahwa jabatan ngabehi tidak memperoleh privilese seperti depati. Akan tetapi,
privilese yang dimiliki depati membuat mereka cenderung semena-mena. Depati
hampir selalu memberikan hukuman, berupa uang. Jarang sekali penahanan.
Pernyataan tersebut keluar dari mulut John Loudon dalam bukunya (1883: 16-17).
Bagi John Loudon, hal tersebut terjadi karena kekuasaan depati waktu itu kurang
terkontrol oleh pemerintah.
Selain Belitung daratan, John Loudon
juga menerangkan hal yang berkaitan dengan pulau-pulau di sekitar Belitung. Semisal
Pulau Mendanau. Dikatakan oleh John Loudon (1883:16), bahwa Pulau Mendanau —termasuk
wilayah administrasi Tandjong Pandan— dihuni sementara (tidak menetap) oleh
orang-orang Belitung. Di Pulau Mendanau, mereka bertani sawah.
Dalam bukunya, saat berlabuh di Belitung, John Loudon juga mencatat soal komposisi penduduk Belitung yang telah terklasfikasi. Klasifikasinya soal penduduk Belitung meliputi Orang Darat/orang Belitong, orang timur asing dan Melayu, orang Cina, dan Orang Laut/suku Sekak. Orang Darat/orang Belitong menduduki tingkat paling tinggi dalam hal jumlah penduduk, yakni 3.531 jiwa. Disusul Orang Laut/suku Sekak; 1654 jiwa, orang timur asing dan Melayu; 351 jiwa, dan orang Cina; 28 jiwa (1883: 18).
Penemuan Langsung Timah oleh John Loudon
Setelah sekian hari di Pulau Belitung, John Loudon
memperoleh kabar dari seorang koleganya, Den Dekker tentang penemuan timah oleh
dirinya. Kemudian pada tanggal 30 Juni 1851, John Loudon dan tim pergi langsung
ke lubang di mana Den Dekker melakukan penggaliannya. Dari lubang itu dilakukan
penelitian secara intensif dan teratur. Lubang penggalian tersebut berada di dekat
blok granit sekitar hilir Sungai Siburik. Dengan ditemukannya timah di sekitar
Siburik, John Loudon dan tim terus melakukan penggalian pada berbagai daerah di
Belitung. Hingga pada akhirnya, John Loudon menemukan sebuah titik penggalian
Lissong Batang[4]
yang cukup banyak timah. Dengan ditemukannya titik Lissong Batang ini, John
Loudon menjadi semakin yakin untuk menerima hak konsesi secara penuh dari
pemerintah (7 Desember 1851). Pada 17 Januari 1852, John Loudon berhasil
menarik cukup banyak kuli Cina untuk bekerja di usaha pertambangannya. Berangkat
dari hal tersebut, jejak eksploitasi besar-besaran timah Belitung telah dimulai.
Pionirnya ialah—tak lain dan tak bukan, John Loudon dan teman-temannya.
Begitulah catatan seorang John
Loudon soal pergulatannya dengan timah di Belitung. Hari-hari pertamanya selama
di Belitung, banyak dihabiskan untuk memuaskan ambisi dalam membuktikan
keberadaan timah di Belitung. Buku ini kemudian juga menjadi penting untuk
mengetahui kondisi Belitung, terkhusus sekitar awal hingga pertengahan abad
ke-19. Hal ini dikarenakan John Loudon ikut menyelipkan kondisi Belitung dan
penduduknya di buku De Eerste Jaren Der
Billiton-onderneming. Walaupun, sudah pasti tentu penggambarannya soal
Belitung menggunakan sudut pandang asing (orang luar Belitung). Selain itu
sebagai sebuah buku dengan gaya penulisan logbook
(catatan harian), jelas apa yang diungkapkan dalam buku ini kental nuansa
subjektifitas John Loudon. Oleh karena itu, pembaca diharapkan bisa
menjernihkan hal demikian sehingga mampu memilah antara opini atau fakta.(*)