Hikayat Tuk Layang
Hikayat Tuk Layang
By Huzaini Bule Sahib
DIKISAHKAN di sebuah keleka’ (kampung kecil di masa lalu, red.) sekitar Buding, kala penduduk Belitung masih bermukim di pedalaman guna menghindari gangguan lanun, tinggallah satu keluarga dengan satu anak yang hidup bersahaja. Kepala keluarga itu oleh masyarakat keleka’ bias disapa Tuk Layang.
Oleh masyarakat keleka’ Tuk Layang dikenali berilmu tinggi, baik di darat maupun di laut. Salah satu kehebatan Tuk Layang adalah memiliki kekuatan tenaga yang tak terkira serta ilmu gerak cepat. Karena kehebatan ilmu Tuk Layang itulah penduduk setempat merasa tenteram. Tuk Layang bisa menjadi tempat berlindung dari gangguan para lanun yang saat itu suka menyerang perkampungan penduduk.
Dalam kesehariannya Tuk Layang tak pernah lepas dari tembako sugi (mengunyah tembakau lalu menyelipkannya di sudut bibir yang menjadi salah satu kebiasaan penduduk Belitung masa lalu dan masih ada di masa sekarang, red.). Selain itu Tuk Layang juga suka sekali makan burung hasil buruan yang banyak terdapat di hutan sekitar tempat tinggalnya.
Untuk memenuhi kesukaannya itu, suatu pagi, Tuk Layang pergi berburu ke hutan di sekitar Sungai Buding. Belum lama berjalan Tuk Layang mendengar suara riuh rendah dari arah hulu sungai. Dari suaranya, Tuk Layang yakin bahwa suara riuh rendah itu berasal dari kicauan ratusan burung bayan.
Mendengar suara riuh rendah itu Tuk Layang bergegas mendatangi arah asal suara. Tuk Layang benar. Setiba di sebuah pohon medang yang rindang, nampak ratusan burung bayan tengah asik makan buah di pohon tersebut. Melihat burung yang jumlahnya begitu banyak, Tuk Layang segera bersiap untuk memanjat pohon tersebut. Tapi, setelah diamatinya, pohon tersebut sulit untuk dipanjat. Karena masih pagi, pohon basah, hingga kalau dipanjat kemungkinan akan jatuh.
Tak mau ambil resiko, Tuk Layang lalu duduk di bawah pohon tersebut. Menunggu batang pohon itu kering sambil mencari akal bagaimana caranya agar bisa mendapatkan semua burung di pohon medang itu tanpa harus memanjatnya.
Akhirnya, setelah agak lama berpikir, Tuk Layang berjalan ke arah pinggir sungai. Sekejap kemudian Tuk Layang muncul dengan membawa sebuah batu sebesar kepala orang dewasa yang diambilnya dari sungai. Setiba di bawah pohon medang tadi, dengan sekuat tenaga, Tuk Layang melemparkan batu tersebut ke bagian tengah pohon medang.
Karena kuatnya lemparan Tuk Layang, begitu batu besar itu mengenai sasaran, pohon medang itu pun terguncang sangat keras. Tak lama berselang, satu per satu burung bayan di pohon itu pun berjatuhan ke tanah. Pendek kata, hari itu, dengan sekali lempar Tuk Layang berhasil mendapatkan ratusan burung bayan kesukaannya.
Konon, menurut cerita penduduk setempat, batu besar yang dilemparkan Tuk Layang tersangkut di salah satu dahan pohon di sebelahnya, dan belum jatuh hingga saat ini. Batu itu kemudian dikenali sebagai Batu Bayan dan ada juga yang menyebutnya Batu Tuk Layang.
Diceritakan, saking banyaknya burung bayan yang jatuh, Tuk Layang harus berulang kali mengangkutnya ke rumah. Oleh Nek Layang (istri Tuk Layang, red.) burung-burung tadi dipisahkan menjadi dua bagian. Sebagian untuk lauk-pauk makan hari itu, sebagian lagi diawetkan (diasin) sebagai cadangan makanan di hari-hari mendatang.
Cuma, masalah pun muncul. Persediaan garam Nek Layang tak cukupi untuk menggarami burung sebanyak itu. Garam yang ada hanya cukup untuk memasak hari itu saja, sementara untuk menggarami yang lainya tak ada lagi.
Sadar Nek Layang kehabisan garam, Tuk Layang pun berkata pada istrinya, ”Mun kitu se, kau tunggu la suat de ruma. Kau buatek la duluk burong-burong idang degaramek tek. Biar aku pegi ke jawe duluk meli garam sekalian kan meli tembako sugi.”
Belum sempat Nek Layang menjawab, Tuk Layang telah berada di atas perahu di pinggir Sungai Buding. Lalu, hanya dengan tiga kayuhan, Tuk Layang pun sampai ke Jawa. Setelah membeli garam dan tembako sugi untuk persedian sebulan, Tuk Layang bergegas naik ke perahu, siap kembali ke Pulau Belitung.
Namun, baru satu kayuhan, Tuk Layang melihat beberapa titik hitam di depannya. Hingga Tuk Layang segera melambatkan laju perahunya. Rupanya titik-titik hitam itu adalah perahu gerombolan para lanun yang sudah siap mencegatnya. Para lanun itu tahu Tuk Layang baru saja membeli garam dalam jumlah besar. Sadar bahwa para lanun itu berniat mencegatnya, Tuk Layang melambatkan perahunya, hingga nampak seperti sedang mengalami kerusakan.
Sementara perahunya melambat mulut Tuk Layang tak berhenti mengunyah tembako sugi. Siasat Tuk Layang mengecoh para lanun berhasil. Menyangka perahu Tuk Layang rusak para lanun segera mendekat. Namun, apa yang terjadi kemudian?
Begitu perahu para lanun sudah berjarak sepenyemburan sugi, dengan tiba-tiba Tuk Layang menyemburkan sugi dari mulutnya ke arah perahu para lanun. Tak ayal, akibat kuatnya semburan sugi Tuk Layang, perahu para lanun itu pun pecah porak poranda. Awaknya tercerai berai dan tenggelam di laut. Sementara perahu-perahu yang masih selamat dari semburan sugi Tuk Layang segera kabur. Lari menjauh dari perahu Tuk Layang.
Singkat cerita, setelah para lanun pergi, Tuk Layang kembali melanjutkan perjalanannya menuju Sungai Buding. Dengan dua kayuhan sampailah Tuk Layang di pinggir Sungai Buding. Begitu sampai di rumah, betapa kagetnya Tuk Layang. Nek Layang belum juga selesai membersihkan burung-burung yang akan digarami. Padahal, waktu itu, matahari sudah condong ke barat. Akhirnya, Tuk Layang jugalah yang harus menyelesaikan perkerjaan tersebut.
***
Tempat terjadinya peristiwa Tuk Layang melempar burung bayan, hingga kini, masih bisa di lihat di sekitar Sungai Buding, di kilometer 44 dari Kota Tanjungpandan menuju Manggar. Persisnya terletak di sebelah kiri jalan, agak masuk ke dalam sejajar dengan aliran Sungai Buding menuju muara.
Tentang cerita kepergian Tuk Layang ke Jawa, walau mengakui versi pertamanya, membeli garam dan tembako sugi, sebagian masyarakat punya versi lain. Memelesetkan nya menjadi semacam joke agak porno, namun menyegarkan.
Konon, saking banyak nya burung bayan yang dibawa pulang ke rumah, Tuk Layang ikut membantu Nek Layang membersihkannya. Tuk Layang menyianginya burung tersebut duduk sambil memangku anaknya. Sementara nek Layang menyiangi burung tersebut persis di depan Tuk Layang sambil berjongkok.
Asik menyiangi burung bayan yang begitu banyak, Nek Layang jadi kurang Senange’an, hingga tak sadar dirinya tebengang (kain/rok tersingkap, orang Belitung mestinya tahu isitilah ini, red.). Rupanya tidak tahan melihat Nek Layang tebengang, perkakas Tuk Layang bereaksi keras. Saking kuatnya reaksi perkakas Tuk Layang, anak di pangkuan nya terpelanting hingga ke Jawa.
Karena itulah, joke sebagian penduduk, kepergian Tuk Layang ke Jawa sebenarnya bukan untuk membeli garam dan tembako sugi, tapi menjemput anaknya yang terpelanting karena lentingan perkakas Tuk Layang yang tidak tahan melihat Nek Layang Tebengang.(*)
Taken from : cerite kampong dari kampoeng halaman, edited by bule SAHIB
Huzaini Sahib |
=====================
TENTANG KAYU MEDANG
Nama komersil : Medang
Nama daerah: Madang, mdang, perawas, huru, tubulo
Nama negara lain : Cinnamomum spp; teja (Malaysia, Serawak); C. parthenoxylon : keplah wnagi (Serawak); ki-sereh (UK, USA, France, Spain, Italy, Netherland, German); D. caesia: hoeroe kacang (UK, USA, Netherland, German); medang (France, Spain); L. odorifera : batikuling suratan (Philippines)
Nama botanis: Litsea spp, Dehaasia spp, Cinnamomum spp
Famili: Lauraceae
Daerah penyebaran: Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Papua
Arsitektur pohon: Tinggi mencapai 35 m, panjang bebas cabang 10 – 20 m, diameter dapat mencapai 100 cm, banir sampai 2 m. Batang pada umumnya berdiri tegak, berbentuk silindris, kulit luar warna kelabu, kelabu-coklat, coklat merah sampai merah tua, kadang-kadang beralur dangkal atau mengelupas kecil-kecil.
Warna kayu: Kayu teras berwarna coklat merah kekuning-kuningan sampai keabu-abuan. Kayu gubal pada umumnya berwarna putih atau kuning muda dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras.
Tekstur: Agak halus dan agak kasar
Arah serat: Lurus, agak bergelombang dan berpadu
Kesan raba: Agak licin sampai licin
Kekerasan: Lunak agak keras
Sifat pengerjaan: Mudah dikerjakan kecuali beberapa jenis yang mengandung silika.
Pengeringan: Mudah dikeringkan tanpa cacat yang berarti
Tempat tumbuh: Tmbuh pada daratan kering, di daerah yang banyak hujan pada ketinggian 100 – 1200 m dpl.
Kegunaan: Papan, tiang, balok
Burung Bayan (Nuri), memiliki nama sains sainsnya Psittacula longicauda (bahasa Inggeris:Long-tailed Parakeet) merupakan sejenis burung bayan yang terdapat di Kepulauan Andaman, Kepulauan Nicobar, Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia termasuk Singapura.
Burung Bayan Nuri hewan yang tergolong dalam golongan benda hidup bertulang belakang (vertebrata). Burung Bayan Nuri termasuk hewan berdarah panas, mempunyai sayap dan tubuh yang diselubungi bulu pelepah. Burung mempunyai paruh tanpa gigi.
Pembiakan
Sebagai burung, Burung Bayan Nuri membiak dengan cara bertelur 2-3 biji. Telur yang dihasilkan mempunyai cangkerang keras dan berwarna putih.
Sumber: belitongtourist.blogspot.com