Sejarah Pertanian di Belitong, Pembangunan Sawah Kelekak Usang Ternyata Sudah Dimulai Sejak Ratusan Tahun Silam
PETABELITUNG.COM - Tanah Pulau
Belitung seperti yang sudah diwartakan sejak lama sesungguhnya tidak begitu
subur. Cornelis De Groot dalam bukunya yang berjudul Herinneringen aan Blitong (1887) mencatat bahwa kondisi tanah
Belitung yang demikian tidak dimungkinkan untuk bertani sawah secara besar-besaran.
Memang rerumputan tumbuh dengan baik di tanah Belitung, tetapi hal tersebut
tidak bisa dibandingkan dengan kesuburan daerah lain di Hindia Belanda.
Oleh
karena itulah kemudian, masyarakat Belitung dalam kebudayaan agrarianya tidak
begitu populer dengan bertani sawah atau bertani di lahan basah. Masyarakat
Belitung lebih senang dengan Bertani di lahan kering (Ume). Hidup
berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan lainnya dalam rentang waktu sekian
tahun. Masyarakat Belitung boleh dikatakan menikmati proses bertani yang
demikian. Bagi mereka, kegiatan bertani seperti itu sudah mencukupi kebutuhan
hidupnya. Dengan begitu, bertani lahan kering (Ume) bak sebuah identitas
kebudayaan agraria masyarakat Belitung.
Akan
tetapi pada masa kolonial, pihak Belanda telah mencoba untuk menggiatkan
masyarakat Belitung agar bertani sawah. Dikarenakan bagi pihak Belanda, bertani
ala masyarakat Belitung tidak akan menghasilkan keuntungan lebih, pihak Belanda
pun kemudian merintis usaha pertanian sawah pertama di Belitung. Uji coba kecil
dilakukan oleh pemegang konsesi, John Loudon di sekitar Tanjungpandan. Namun,
itu tidak berhasil dan bertani padi di sawah tidak ditiru oleh penduduk sekitar.
Uji coba yang dilakukan oleh Den Dekker di Distrik Manggar dan Buding juga
gagal.
Kemudian
atas permintaan Ki Agus Endek selaku Kepala Jaksa (Hoofd-Djaksa 1867-1873) waktu itu
diadakan kembali percobaan di Kelekak Usang (Klekoh Oessang), sekitar Sungai
Cerucuk. Sebanyak enam petani Jawa ditempatkan di situ. Artinya ujicoba itu sudah dilakukan setidaknya sejak 153 tahun silam. Tujuan percobaan ini lebih
untuk membuktikan bahwa daerah dataran rendah, seperti Dendang, Buding, pantai
barat dan timur Belitung juga cocok untuk bertani sawah.
Selama masa percobaan tersebut,
pihak Belanda menemui bermacam aral, seperti diperlukannya usaha yang serius untuk
mencabut akar pohon-pohon besar, meratakan medan, dan membangun irigasi (tanggul
dan saluran air). Selain itu, berbagai perkakas yang mestinya digunakan untuk
bertani sawah, seperti alat bajak tidak dikenal di Belitung. Pada waktu itu
(1867-1873), di Pulau Belitung hanya terdapat selusin kerbau yang diimpor oleh
Den Dekker untuk mengangkut hasil timah. Masyarakat Belitung pun kala itu tidak
mengenal pacul atau cangkul (patjoel).
Mereka hanya mengenal parang, baliung, dan pisau raut (piso raoet).
Berbagai aral atau halangan di atas seakan menunjukkan bahwa usaha perintisan sawah di Belitung bukanlah perkara mudah sehingga dibutuhkan usaha yang ekstra keras. Usaha-usaha itu juga harus digalakkan dalam jangka waktu yang panjang. Ecoma Verstege selaku Asisten Residen Belitung (1868-1875) ketika itu juga menyebut bahwa usaha percobaan sawah di Belitung telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit bagi pemerintah kolonial Belanda.(*)
Foto ilustrasi: Suasana sawah di Dusun Kelekak Usang Desa Perawas, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung tahun 2020. Haryanto/petabelitung.com |
Penulis: Dony Agustio Wijaya
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com