Menelisik Parang Badau, Jejak Sejarah Jalur Rempah di Pulau Belitung
PETABELITUNG.COM - Sejak 2012 sewaktu masih menjadi wartawan saya telah menulis tentang parang Badau dan sejarahnya1. Kemudian tahun ini - setelah berhenti dan fokus menjadi penulis sejarah- saya baru sadar bahwa perkembangan parang Badau di Pulau Belitung ternyata berkaitan erat dengan Jalur Rempah. Kesadaran saya ini tak lepas dari upaya intensif Pemerintah Indonesia dalam mensosialisasikan program Jalur Rempah. Saya pun terpengaruh, tentu dengan semangat untuk membuktikan sejarah Jalur Rempah itu sendiri. Awalnya saya skeptis dengan Jalur Rempah. Sebab Pulau Belitung tempat saya dilahirkan sebetulnya lebih dikenal sebagai penghasil besi dan timah, baik pada masa kolonial maupun jauh sebelumnya. Komoditi rempah di Pulau Belitung baru berkembang pada abad ke-20 ketika perkebunan lada mulai digalakkan oleh para penambang timah Tionghoa2. Wajar bila kemudian sulit menemukan cerita rakyat di Belitung yang bertema budaya rempah. Begitulah jadinya kalau Jalur Rempah itu hanya semata-mata dipandang dari sudut rempahnya saja. Saya pun sebelumnya tidak pernah berpikir untuk mengaitkan parang Badau dengan Jalur Rempah. Maka itu tulisan saya tentang parang Badau tidak banyak berkembang sejak pertama ditulis 2012 lalu.
Parang Badau masa kini
dikenal sebagai alat pertanian yang dibuat oleh tukang parang di Desa Badau, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung,
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Nama parang Badau diambil dari tempat
pembuatannya berasal yakni Desa Badau. Nama ini sudah seperti merk dengan
jaminan mutu tinggi di kelasnya. Tanya saja toko pertanian di Belitung, lantas
semua orang akan menyebut parang Badau adalah yang terbaik. Makanya harga parang
Badau lebih mahal dibandingkan parang lainnya, tak peduli siapa tukang parangnya.
Harga pasarnya berkisar Rp 125-250 ribu per buah, tergantung ukuran. Di
Kabupaten Bangka Selatan nama parang Badau dikenal dengan sebutan parang
Belitung atau parang Belitong. Tak sekadar bermutu secara fisik, masyarakat di sana
juga mengenal parang Belitung sebagai produk yang mengandung mistis. Bahkan
bagi para pencari lebah hutan, parang Belitung dianggap memiliki tuah jika di
badan parang ditemukan pola tertentu.
Bilah parang Badau
memiliki khas, betuknya sepintas mirip badan Air Force One pesawat kepresidenan
Amerika Serikat. Bagian ujung bilahnya menonjol ke atas dan kemudian semakin
mengecil hingga ke hulu. Sedangkan sisi tajamnya agak lurus, hampir segaris
dengan gagang. Secara umum model parang Badau ini dikerjakan oleh semua tukang parang di Pulau Belitung, tidak
hanya terbatas di Desa Badau saja. Namun hanya parang yang dibuat di Badau saja
yang berhak menyandang nama parang Badau. Indentifikasi semacam ini juga biasa
dilakukan oleh pedagang di toko. Mereka akan menyebut parang sesuai dengan
tempat asal pembuatannya, sekalipun bentuk dan ukurannya sama.
Ukuran panjang bilah parang
Badau secara umum adalah 35 cm. Namun terdapat pula variasi lain dengan panjang
berkisar antara 30-40 cm dan berat 500-600 gram. Gagang maupun sarungnya
terbuat dari kayu. Penggunaan kayu adalah pakem yang masih terus dipertahankan
hingga saat ini. Bahan baku gagang biasanya menggunakan kayu resak, mensira’ atau nyato.
Sarung biasanya menggunakan kayu ketapi
atau meranti’. Simpai untuk sarung
biasanya menggunakan bahan rotan atau tali plastik. Terdapat pula cincin yang
berfungsi mengencangkan tangkai bilah yang ditanam pada gagang. Cincin parang
Badau biasanya menggunakan drum besi yang dipotong dan disatukan dengan cara
pengelasan.
Bentuk parang Badau
masa kini tampaknya telah mengalami perubahan jika dibandingkan dengan bentuk
parang Belitung abad ke-19. Hal ini diketahui setelah Wereld Museum di
Rotterdam Belanda mempublikasikan koleksi parang Belitung di website resmi
mereka3. Pada masa lalu, bentuk ujung parang Belitung tidak memiliki
tonjolan yang besar seperti parang Badau sekarang. Perbedaan ini mungkin terjadi
karena perubahan fungsi. Parang Badau didesain khusus hanya untuk pertanian
sehingga tonjolan besar dibuat untuk memaksimalkan efek tebasan di ujung
parang. Sedangkan parang Belitung zaman dulu juga berfungsi sebagai senjata,
maka bobotnya perlu disesuaikan untuk pertarungan.
Pengetahuan sejarah
tentang produksi parang di Belitung awalnya diketahui melalui register harian (dagh-register) VOC abad ke-17. Pada masa
itu sejumlah perahu bermuatan puluhan ribu parang dari Belitung tercatat hilir
mudik di pelabuhan Batavia4. Semula kami pandang itu sebagai sebuah
perdagangan biasa. Sebab perahunya kembali lagi ke Belitung dengan membawa kain
dan pakaian yang memang dibutuhkan penduduk. Namun pandangan kami berubah setelah
membaca sub-tesis Martin O’Here5. Ternyata perdagangan tersebut adalah
bagian dari sejarah Jalur Rempah di Nusantara. Hal ini seperti menjawab
pertanyaan yang sebelumnya mengganjal di kepala. Mengapa parang dan perkakas besi
dari Belitung laku di pasar Betawi? Padahal Pulau Jawa tentu tidak kekurangan
perkekas dengan berkembangnya ilmu para empu keris dan pande besi. Apalagi
kebutuhannya hanya berupa parang yang lebih sering digunakan untuk pertanian. Jawabannya,
karena parang Belitung ternyata digunakan untuk komoditas barter. Parang
Belitung pada masa itu sangat diminati oleh penduduk di pulau-pulau rempah,
khususnya Timor yang kaya dengan kayu cendana.
Martin O’Here dari Fakultas
Studi Asia di Australian National University menulis sub-tesisnya pada tahun
1986 dengan judul “Majapahit’s Influence
Over Wwnin in New Guinea in The Fourteenth Century”. Tulisannya memaparkan
peran para pedagang Jawa dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah timur
Indonesia. Fokusnya memang diarahkan khusus ke Wwanin yang sekarang dikenal
Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Namun secara umum
datanya juga memuat banyak informasi yang berkaitan dengan Belitung. Salah
satunya adalah keterangan yang dikutip dari Bertram Schrieke.
Keterangan Schrieke
menyebutkan beragam komoditi yang digunakan oleh pedagang Jawa dalam
perdagangan rempah. Selain kapas, benang dan kain Jawa, produk ekspor utama
mereka adalah beras, garam, dan bahan-bahan makanan. Komoditi ini tersedia
untuk Sunda dan pelabuhan lada di pantai timur dan barat Sumatera. Barang
ekspor ini terutama dibarter dengan lada dari Sunda, daerah Lampung, Indrapura,
Jambi, dan Patani. Selanjutnya lada yang tidak diperlukan untuk konsumsi rumah
tangga, diekspor ke Bali dan dibarter dengan kain katun Bali yang banyak
diminati di Maluku. Perdagangan dengan pulau-pulau rempah juga dilakukan secara
barter. Cengkeh dan pala dari Banda dan Maluku dibarter dengan katun Bali, beserta
komoditi lain seperti perhiasan emas dan perak, koin-koin kecil, sutra,
porselen Cina, dan beras termasuk dari Bima. Kayu cendana dan lilin dari Pulau
Timor juga dibeli dengan cara barter. Schrieke (1960:21) menerangkan bahwa: “… for sandalwood and wax on Timor they traded
the parangs and so forth from Billiton, Karimata, and Tobungku (on eastern
Celebes) which were so much in demand and were later imported there by the
Portuguese and the Dutch Company as well”6. Keterangan ini jelas
menyebutkan parang dari Belitung, Karimata, dan Tobungku dibarter dengan kayu
cendana di Pulau Timor. Sebab parang tersebut sangat sangat diminati di sana.
Bahkan kemudian Pertugis dan Belanda juga ikut memperdagangkannya di kepulauan
tersebut. O’Here mengatakan, keterangan Schrieke bersumber dari literatur
Portugis dan dokumen VOC abad ke-17. Keterangan itu mengindikasikan perdagangan
dan pelayaran Jawa pada abad ke-14 dan 15. Kala itu Tuban adalah pelabuhan
utama Majapahit, dan selanjutnya Gresik dan Japara menjadi semakin penting
setelah tahun 1400.
Hikayat Raja Pasai dari
abad ke-14 telah menyebutkan nama Belitong dalam wilayah Ujong Tanah7.
Seperti yang diketahui, Belitong adalah nama lokal Pulau Belitung yang biasa
diucapkan oleh penduduknya dalam percakapan sehari-hari. Suatu ketika Kesultanan
Samudra Pasai era Sultan Ahmad terlibat konflik dengan Majapahit. Akibatnya
wilayah Ujong Tanah termasuk Belitong takluk dan harus membayar upeti kepada
Majapahit. Mungkin pada masa Kesultanan Samudra Pasai keahlian membuat parang
telah dikenal di Pulau Belitung. Baru dalam proses selanjutnya para bangsawan
Jawa juga ikut menambah khasanah pengolahan besi tersebut. Sebab dalam sejumlah
legenda di Pulau Belitung terdapat kisah para bangsawan Jawa dari Majapahit.
Di Desa Bantan,
Kecamatan Membalong Kabupaten Belitung terdapat tokoh legenda bernama Tu’
Rangga Tuban (Datuk Ronggo Tuban). Singkat kata, tokoh ini berasal dari Jawa
dan dikenal andal dalam pembuatan senjata serta perahu. Salah satu
peninggalannya yang masih ada hingga sekarang adalah batu asah8.
Menurut warga, batu asah di wilayah tersebut terkenal karena mampu menajamkan
parang secara cepat. Namun siapa saja akan terluka oleh parangnya sendiri saat
mengasah menggunakan batu asah tersebut. Ada dugaan bahwa nama belakang Tu’
Rangga Tuban sebetulnya menunjukkan daerah asal Beliau yakni Tuban.
Dari tradisi lisan Desa
Badau terdapat tokoh legendaris bernama Ki Ronggo Udo atau Datuk Dalung Moyang
Gersik. Tokoh ini merupakan sosok Raja Badau pertama. Ia adalah seorang
bangsawan tanah Jawa dari Kerajaan Majapahit yang datang ke Pulau Belitung via
Palembang sekitar tahun 1500. Kedatangannya dalam rangka mencari obat ke Pulau
Belitung. Singkat kata Ki Ronggo Udo akhirnya menetap di kaki bukit Gunong
Badau. Di sana ia membangun rumah, membuka huma, dan mengembangkan
pengetahuannya tentang pengolahan besi9. Tradisi lisan menyebut
Badau adalah kerajaaan pertama di Pulau Belitung. Ki Ronggo Udo adalah raja
pertama dan Beliau diyakini berasal dari Gresik, Jawa Timur. Komplek pemakaman
Raja-raja Badau masih bisa dijumpai hingga sekarang. Lokasinya berada di atas puncak
bukit Gunong Lilangan, mirip seperti pemakaman Imogiri di Yogyakarta.
Pulau Belitung juga
memiliki tradisi lisan tentang Kerajaan Balok di Desa Balok, Kecamatan Dendang,
Kabupaten Belitung Timur. Kisah kerajaan ini dimulai pada abad 17 ketika
rombongan bangsawan Jawa dari Kerajaan Majapahit datang ke Pulau Belitung via
Palembang. Versi lain menyebutkan mereka berasal dari Mataram. Mereka kemudian
mendirikan kerajaan di Balok Lama, antara sungai Balok dan sungai Gumbak. Raja
pertamanya bernama Ki Gede Yakub atau Kiagus Mas’ud. Dari hari ke hari kerajaan
menunjukkan kemajuan pesat. Di hutan Balok, Raja menyuruh mencari damar,
kemenyan, gaharu, satam, timah, mas, berlian dan lain-lain yang diperlukan
orang-orang di luar Pulau Belitung10.
Sejumlah tradisi lisan
di Pulau Belitung jelas mengisahkan kedatangan bangsawan Jawa dari Kerajaan
Majapahit. Namun latar belakang kedatangan mereka hampir tidak pernah diungkap
sama sekali. Makanya kisah-kisah dalam tradisi lisan ini cendrung hanya
dipandang sebagai sebuah fiksi belaka. Padahal bila merujuk pada tulisan O’Here
dan Schrieke, jelas kisah-kisah tersebut sebetulnya mengandung muatan sejarah.
Kisah-kisah tersebut mengindikasi kegiatan para pedagang Jawa pada masa
Majapahit. Mereka berlayar ke sejumlah daerah termasuk Belitung dalam rangka
mencari komoditi dagang untuk dibarter dengan rempah-rempah di wilayah timur
Nusantara. Daerah asal Tu’ Rangga Tuban dan Ki Ronggo Udo yakni Tuban dan
Gresik adalah pelabuhan-pelabuhan penting dalam kegiatan perdagangan rempah. Maka
tujuan kedatang mereka ke Belitung tentu berkaitan erat dengan situasi perdagangan
di daerah asalnya.
Dalam daghregister VOC mencatat sejumlah kapal
dari Belitung membawa produk-produk besi. Catatan paling tua bertanggal 5
Oktober 1640 yang dikutip oleh F.W. Stapel dalam bukunya11. Pada
tanggal tersebut dilaporkan sebuah perahu dari Batavia berangkat ke Belitung
dengan membawa pakaian seharga 100 Real.
Kemudian laporan kedua 2 Januari 1648 menyebutkan kedatangan sebuah
tongkang di Batavia dari Belitung. Tongkang dengan 21 orang awak itu membawa
muatan 10.000 pahat dan parang12. Laporan selanjutnya memuat daftar perdagangan parang dan
produk besi Belitung di Batavia dalam kurun tahun 1648-1665.
Laporan perdagangan
produk besi dari Belitung kemudian terkonfirmasi oleh laporan utusan VOC
bernama Jan de Harde13. Ia tiba di Pulau Belitung pada 31 Juli 1668
dan melaporkan situasi politik serta perdagangan penduduk setempat. Penguasa
Pulau Belitung pada masa itu adalah seorang ‘Regent’ dari Palembang dengan gelar Kingabey (Ngabehi). Sedangkan komoditi perdagangannya adalah besi dan
perkakas besi dalam jumlah besar, sedikit kulit penyu, lilin, kayu-kayuan,
sarang burung, dan damar. Besi yang dimaksud adalah produk setengah jadi yang
dikenal dengan sebutan besi Belitung.
Bentuknya berupa batangan berukuran panjang ± 15,72 cm, lebar 5,24 cm, dan
tebal 1,31 cm. Sifat besinya liat. Makanya besi
Belitung itu diperdagangkan sebagai bahan baku pembuatan keris dan senjata14.
Jalur Rempah telah
membawa kemakmuran pada penduduk dan pemerintahan di Pulau Belitung. Jejaknya
tampak pada tiga desa besar yang dijumpai pada abad 19. Ketiga desa itu yakni
Selutok di Distrik Sijuk, Tanjung Rusa di Distrik Belantu, dan Balok. Insinyur
pertambangan Van Diest mengatakan, desa terbesar adalah Balok yang merupakan
tempat kediaman Depati pertama Belitung. Pada masa itu penduduk Belitung menikmati
kemakmuran tertentu dan menyibukkan dirinya dengan berbagai usaha. Banyak yang
membuat perkakas besi, senjata dan terutama paku dari bijih besi magnet, yang banyak
ditemukan di Belitung. Paku Belitung merupakan produk yang sangat dicari oleh pengunjung
dari luar daerah. Van Diest (1874:196)
menyebut: “…gekocht door vreemdelingen, die
de stranddorpen met hunne vaartuigen aandeden” 15. Artinya paku
dan produk-produk besi itu dibeli oleh orang asing yang mengunjungi desa-desa di
pantai Belitung dengan kapal mereka.
Komisaris VOC di
Palembang bernama H.J. de Heere berkunjung ke Tanjungpandan, pada tanggal 16
September 1759. Saat itu dia melihat kondisi pelabuhan disibukkan dengan perdagangan
besi yang melibatkan kapal-kapal Palembang, Bugis, dan Mandar. Selain itu juga
ada kapal dari Pekalongan dan Cirebon miliki saudagar Cina. Komoditas perdagangan
mereka yakni beras, garam, kain Jawa, dan peralatan rumah tangga16.
Seorang geolog Belanda
bernama Cornelis de Groot tiba di Pulau Belitung pada tahun 1851. Dalam
perjalanannya ia melihat kegiatan pembuatan perkakas besi yang dilakukan oleh pandai besi yang tersebar di
kampung-kampung. Barang yang diproduksi pandai
besi di Belitung yakni parang, kapak, beliung, serampang, tirok, tombak,
seruit, keris panjang, keris pendek, pisau raut, kantip, dan tumbuk lada. Namun
produk tersebut terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Menurut Cornelis de
Groot, pandai besi di Belitung
memahami cara kerja pengolahan besi dari mulai melebur hingga menjadi perkakas.
Peleburan dilakukan menggunakan tanur tanah liat berukuran kecil. Setelah api dinyalakan,
pandai besi lebih dulu memasukkan
arang kayu ke dalam tanur. Kemudian ia mengisi beberapa genggam batu besi yang
sudah ditumbuk seukuran kacang polong. Setelah itu muatan tanur ditimpa lagi
dengan arang kayu, batu besi, dan kemudian batu bara. Jumlah tumpukan ini
disesuaikan dengan perkakas yang ingin dibuat oleh pandai besi. Hasil peleburan dengan tanur diambil dalam bentuk
gumpalan besi semi cair. Selanjutnya gumpalan besi itu ditukul menjadi pelat
besi. Begitu seterusnya sampai dihasilkan jumlah pelat besi sesuai kebutuhan.
Kemudian dua pelat besi ditempelkan menjadi satu dengan penjepit dan dimasukkan
ke dalam api dan ditukul menjadi sebuah tongkat besi biasa. Selanjutnya dua atau lebih tongkat besi itu
ditempa lagi menjadi satu untuk menghasilkan perkakas yang diinginkan.
Soal mutu de Groot (1852:10)
mengatakan : “De parong (hakmes) en de
bliong (bijl) door hen gemaakt, zijn vooral
van zeer geode kwaliteit”. Artinya perkakas besi dari Belitung memiliki
kualitas sangat baik, terutama parang dan beliung. Menurut De Groot pengerjaan
besi di Belitung terbilang baik sekalipun sumber dayanya terbatas17.
Dalam buku selanjutnya
yang terbit tahun 1887 Cornelis de Groot mengatakan, pada tahun 1871 pandai besi Belitung tidak lagi melebur
besi. Bahan baku parang dan perkakas diambil dari besi dan baja tua, atau dari
besi dan baja yang dibeli di Tanjungpandan18. Produk perkakas besi
juga tidak masuk daftar komoditi ekspor Belitung. Sebaliknya dalam daftar
barang impor ke Belitung terdapat baja, besi, dan barang besi. Kondisi inilah
yang menyebabkan keberadaan pandai besi
hilang dalam kebudayaan Pulau Belitung. Pada abad selanjutnya profesi pembuat
perkakas besi lebih dikenal dengan sebutan tukang
parang.
Pada abad 21 keberadaan
tukang parang tetap memegang peran
penting dalam kehidupan masyarakat di Pulau Belitung. Contohnya adalah Samsudin
(56), seorang tukang parang pembuat
parang Badau di Desa Badau. Ia telah menekuni keahliannya sejak berumur 10
tahun. Keahliannya diperoleh secara turun temurun dimulai sejak era datuknya.
Orang dari berbagai desa di penjuru Pulau Belitung silih berganti mendatanginya
untuk mendapatkan parang Badau. Pemerintah daerah di Kabupaten Belitung maupun
Kabupaten Belitung Timur juga pernah menggunakan jasanya untuk melatih warga
membuat parang. Pada waktu tertentu Samsudin juga dikunjungi oleh sekelompok
wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Menurutnya, kebudayaan parang Badau
tidak mudah punah karena masyarakat Belitung lebih senang menggunakan parang
lokal. Pengguna parang Badau bukan hanya para petani lada saja, tapi juga pelaku
usaha perkebunan dan pertambangan. Regenerasi pun berlangsung baik dengan
bermunculannya tukang parang dari
generasi muda, termasuk anak Samsudin sendiri. Saat ini setidaknya ada tujuh
bengkel parang Badau di Desa Badau. Sedangkan secara keseluruhan ada sekitar 14
tukang parang di Pulau Belitung.
Samsudin mengatakan,
bahan baku pembuat parang Badau adalah per bekas mobil atau bar bekas gergaji
mesin. Penggunaan per bekas seingatnya sudah dilakukan sejak zaman kakeknya
dulu. Samsudin masih menyimpan satu per bekas mobil Willys yang sekarang sudah
sangat langka. Per jenis itu dulu sering digunakan oleh orangtuanya. Namun
sekarang Samsudin lebih sering menggunakan per bekas mobil truk. Memperoleh
bahan baku per terbilang gampang-gampang susah. Maka itu kadang per bekas mobil
pick-up juga digunakan untuk mengatisipasi kekurangan bahan baku.
Secara umum tukang parang di Badau kurang mengetahui
sejarah pembuatan parang di Pulau Belitung. Kebanyakan tukang parang hanya melanjutkan keahlian membuat parang dari
orangtuanya, tanpa tahu bagaimana sejarahnya dulu. Samsudin pun tersenyum
ketika mendengar hubungan sejarah Jalur Rempah dengan parang Badau. Hubungan
sejarah tersebut seperti memberikan harapan baru bagi tukang parang di Badau. Sebab parang Badau ataupun parang Belitung
lainnya selama ini hanya dianggap sebagai produk pasar dari usaha kecil
menengah (UKM). Kondisi ini membuat mereka sulit mendapatkan bantuan yang
pengucurannya membutuhkan wadah dalam bentuk kelompok. Padahal jika melihat
sejarah panjang parang di Belitung, seorang tukang
parang sebetulnya harus dipandang sebagai seorang pelaku budaya, bukannya
pelaku usaha.
Teknik pembuatan parang
Badau mengandung banyak pengetahuan lokal. Samsudin menunjukkan langkah pertama
adalah memotong per pakai pahat dan membuat garis mal dari tanah liat. Dari
tahap ini Samsudin bercerita bahwa uji labor menunjukkan tanah liat Badau
adalah tanah kualitas nomor satu untuk industri bata merah. Selanjutnya arang
untuk dapur pembakaran harus menggunakan arang
pandok yang berbentuk potongan-potongan kecil. Jenis kayu untuk membuat
arang ternyata berparuh langsung pada kualitas parang. Bahan baku terbaik untuk
membuat arang pandok adalah kayu renggadaian yang membuat besi menjadi
putih saat proses sepuh. Selanjutnya gagang parang harus menggunakan kayu,
karena mampu membuat pegangan semakin kuat saat tangan bekeringat. Pengetahuan
semacam ini mengandung pesan bahwa keahlian tukang
parang berkaitan erat dengan upaya pelestarian lingkungan.
Sebuah parang Badau
siap pakai bisa diselesaikan oleh Samsudin dalam waktu sehari. Waktu ini
terbilang lama karena pembentukan parang sepenuhnya ditukul secara manual.
Pemotongan per menggunakan pahat juga membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak
sedikit. Sebetulnya jika ada bantuan mesin pemotong dan penukul, jumlah
produksi bisa ditingkatkan. Namun bagi Samsudin, menjaga kualitas adalah yang
utama sekalipun peralatannya terbatas.
“Kadang sedih karena harganya
masih juga ditawar sama orang, tapi bagi mereka yang mengerti, harga tidak jadi
masalah,” kata Samsudin saat ditemui di bengkelnya, Senin (30/8/2021) sore.
Parang Badau adalah jejak sejarah Jalur Rempah yang memperkaya kebudayaan di Pulau Belitung dan Indonesia. Sejumlah pemerhati sejarah, penggiat budaya dan tokoh masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tentu menyambut baik kabar ini. Sebab Jalur Rempah adalah pemantik kemajuan daerah. Sama seperti parang yang menjadi lambang daerah Kabupaten Belitung dengan slogan “Maju Terus-Mawas Diri”. (*)
1. Kurniawan, Wahyu. 2012. “Melihat Jejak Sejarah Belitong di Parang Badau”, https://www.tribunnews.com/regional/2012/10/28/melihat-jejak-sejarah-belitong-di-parang-badau?page=all. Diakses 28 Agustus 2021 pukul 16.34 WIB.
2. Kurniawan, Wahyu. 2020. “Telisik Jalur Rempah di Belitung, Tahun 1913 Kebun Lada Manggar Paling Luas dan Ditanam oleh Tionghoa dari Serawak”, https://www.petabelitung.com/2020/09/telisik-jalur-rempah-di-belitung-tahun.html. Diakses 5 Agustus 2021 pukul 22.55 WIB.
3. “Kapmes met schede – parang”, https://hdl.handle.net/20.500.11840/592985. Donasi, 1864-09-01. P. bilah 42 cm ; P. gagang 16 cm; P. sarung 51 cm; L. bilah 2,8-5 cm ; L. gagang 3 cm. Nomor Inventaris : RV-37-511. Diakses 27 Agustus 2021 pukul 22.04 WIB.
4. Stapel, Frederik Willem. Tambahan Keterangan-Keterangan Mengenai Sejarah Pulau Belitung dari Tahun 1746-1823, terj. H.Abu Hassan, Manggar: 14 April 1983.
5. O'Here, Martin. 1986. “Majapahit’s Influence Over Wwnin in New Guinea in The Fourteenth Century”, http://www.papuaweb.org/dlib/s123/ohare1/_toc.pdf. Diakses 24 Agustus 2021 pukul 15.48 WIB.
6. Schrieke, B. “Indonesian sociological studies part one: second edition”. Bandung : Sumur Bandung, 1960, halaman 21.
7. Hill, A.H. “Hikayat Raja-Raja Pasai”. Singapura: Malaya Publishing House, 1960 halaman 101.
8. Sahib, Bule. 2008. “Hikayat Keramat Bujang”,
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/hikayat-keramat-bujang.html. Diakses 31 Agustus 2021 pukul 23.49 WIB.
9. “Desa Badau Dalam Angka 2014”. Belitung: Pemerintah Desa Badau, 2015.
10. Sakri. “Legenda Situs Kerajaan Balok Dusun Balok Desa Balok Kec.Dendang Kab.Beltim”. Dendang: Kelompok Peduli Situs Kerajaan Balok, 23 April 2009.
11. Stapel, Frederik Willem. Aanvullende gegevens omtrent de geschiedenis van het eiland Billiton en het voorkomen van tin aldaar. Den Haag: NV Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton, 1938, halaman 14.
12. Stapel, Frederik Willem. Tambahan Keterangan-Keterangan Mengenai Sejarah Pulau Belitung dari Tahun 1746-1823, terj. H.Abu Hassan, Manggar: 14 April 1983, halaman 3.
13. Stapel, Op.Cit., hlm. 20.
14. Loudon, John Francis. “Tahun-Tahun Pertama Pencangkulan Biji Timah di Bumi Pulau Belitung. terj. H.Abu Hassan, Manggar: 14 April 1989, halaman 4.
15. Van Diest, P.H. (1875). “Bijdrage tot de geschiedenis van Billiton, gedurende de eerste 15 jaren onzer vestiging aldaar, bepaal delijk met het oog op het reeds te dien tijde bekend zijn van het voorkomen van tin erts aldaar”. Jaarboek van het Mijn Wezen in Nederlandsch Oost-Indie Uitgegeven op Last van Zijne Exellentie den Minister van Kolonien Derde Jaargang Tweede Deel 1874, 3 (2), 196.
16. Groot, Cornelis de. Herinneringen aan Blitong: historisch, lithologisch, mineralogisch, geographisch, geologisch en mijnbouwkundig. Den Haag: H. L. Smits, 1887, hlm.42.
17. Groot, Corns de. (1852). "Eiland Blitong (Billiton) door Corns de Groot”. Bijdragen tot de Geologisce en Mineralogische Kennis van Nederlandsch Indie door de Ingenieurs van het Mijnwezen in Nederlandsch Indie, 3, 10.
18. Groot, Op.Cit., hlm. 390.
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com
Foto : Bentuk parang Badau dengan pola berlobang pada bilah milik Samsudin (56) tukang parang di Desa Badau, Senin (30/8/2021) sore. Pola berlobang ini terbilang langka dan dianggap bertuah dalam tradisi mencari madu hutan. Wahyu Kurniawan.