Ungkap Misteri Patong Kuno dari Gunong Kurak, Ternyata Ada Satu yang Dibawa ke Batavia Tahun 1875
PETABELITUNG.COM - Patung Kuno dari Gunong Kurak ditemukan pada tahun 2004 di sebuah lokasi tambang pasir kwarsa di Dusun Gunong Kurak Desa Mentigi, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penemuan patung ini terjadi secara tidak sengaja pada kedalaman sekitar dua meter di bawah tanah saat salah satu alat berat sedang melakukan penggalian tambang pasir. Operator alat berat itu kemudian menyerahkan patung temuannya kepada Dukun Kampong Gunong Kurak, Norman. Selanjutnya Norman merawat patung tersebut di rumahnya hingga kemudian diserahkan kepada Museum Pemkab Belitung pada tahun 2021.
Penyerahan patung kuno Gunong Kurak dilaksanakan di rumah Dukun
Kampong Gunong Kurak, Sabtu 24 April 2021 siang. Patung ini diserahkan oleh
Dukun Kampong yang baru bernama Haryanto. Ia merupakan menantu dari Norman,
Dukun Kampong sebelumnya. Hadir pula keluarga Dukun Kampong Gunong Kurak dan
Kepala Dusun Gunong Kurak dalam acara tersebut.
Haryanto mengatakan, tujuan menyerahkan patung tersebut ke museum
adalah demi untuk menjaga kelestariannya. Selain itu pihaknya juga berharap
sejarah patung tersebut bisa diungkap sehingga memberikan manfaat dan menambah
pengetahuan bagi masyarakat luas, khusus di Pulau Belitong. Sejarah patung ini
tidak diketahui sama sekali oleh warga.
Lokasi penemuan patung ini bukan titik yang bersejarah dan bukan pula
yang keramat bagi warga setempat. Kebudayaan setempat maupun di Belitong secara
umum juga tidak memiliki budaya patung. Haryanto memperkirakan patung ini
mungkin saja berasal dari zaman kerajaan-kerajaan era Majapahit.
Simbolisasi Nenek Moyang
Warga Dusun Gunong Kurak menyebut patung kuno ini dengan nama
“Patong”. Nama ini adalah istilah umum dalam bahasa Belitong untuk menyebut
patung. Istilah patong mengingatkan pada patung dari Suku Dayak yakni
Hampatong. Catatan mengenai Hampatong ini sudah dipublikasikan setidaknya sejak
abad 19 pada masa kolonial Belanda. Salah satunya terdapat dalam buku terbitan tahun 1857
berjudul Reizen en onderzoekingen in den Indischen Archipel, gedaan op last der
Nederlandsche Indische regering, tusschen de jaren 1828 en 1836 (Perjalanan dan
penjelajahan di Kepulauan Indonesia, dilakukan atas perintah pemerintah Hindia
Belanda, antara tahun 1828 dan 1836).
“Ada Hampatong laki-laki dan perempuan; yang Perempuan, selain beberapa
keanehan lainnya, secara khusus dicirikan oleh bentuk payudara yang kuat dan
menonjol. Ada banyak keragaman ukuran Hampatong seperti dalam penyamarannya.
Beberapa wartawan menganggap Hampatong sebagai berhala; tetapi menurut arti
namanya, mereka melambangkan kesatria-kesatria, karena nama itu kemungkinan
besar dibentuk oleh kontraksi, dari kata Melayu hamba, bawahan, dan patong, dan sebuah gambar,” demikian keterangan
dalam buku tersebut.
Dalam buku THE LOST CITY: Menelusuri Jejak Nyai Undang dari Kuta
Bataguh dalam Memori Suku Dayak Ngaju (2017:369) disebutkan, Hampatong berasal dari kata patong yang artinya patung; hampatong merupakan patung-patung
yang pada umumnya berukuran tinggi dibuat dari kayu ulin atau kayu besi.
Situs salah satu Rumah Lelang tertua di dunia Dorotheum memiliki
sejumlah koleksi patung ini. Menurut mereka, Hampatong adalah nama yang
diberikan kepada tokoh leluhur dan pelindung yang terbuat dari kayu keras.
Hampatong didirikan oleh berbagai kelompok Dayak di Kalimantan baik sebagai
patung peringatan bagi almarhum penting di tempat pemakaman, dan sebagai
'penjaga' untuk melindungi dari roh jahat di depan pintu masuk rumah panjang
mereka.
Bentuk wajah patong dari Gunong Kurak (kiri) dan Hampatong koleksi Dorotheum. |
Sebuah koleksi yang mereka
punyai tampak memiliki wajah yang hampir mirip dengan patung dari Gunong Kurak,
terutama bagian mata hidung, alis, dan sanggul di atas kepala. Koleksi itu terbuat
dari 'kayu besi' yang sangat keras, diukir utuh. Secara gaya, mungkin itu berasal dari Ot-Danum-Dayak. Patung mirip tiang itu awalnya memiliki lampiran di
atas kepalanya (lapuk berat). Kepala lonjong panjang memiliki alis melengkung
di atas mata yang berkontur bagus, hidung panjang dan rata, dan mulut terbuka.
Lengan kiri dan kedua kakinya didesain bebas. Seluruh gambar menunjukkan jejak
yang jelas, erosi dan retakan cuaca ekstrim di sebelah kanan, terutama karena berdiri di tempat terbuta di luar ruangan untuk waktu yang sangat lama.
Bernard de Grunne dalam publikasinya berjudul Dayak 2 From Borneo
mengklasifikasikan Hampatong menjadi dua kelompok yakni gaya klasik dan gaya
klasik akhir. Patung dari Gunong Kurak tampaknya masuk dalam kelompok gaya
klasik akhir yang diperkirakan berasal dari tahun 1402-1900 masehi. Sebab
bagian tubuh patung dalam gaya klasik akhir rata-rata telah diukir secara utuh,
mulai dari kepala sampai kaki.
Jacob Vredenbregt dalam buku berjudul 'Hampatong: kebudayaan material
suku Dayak di Kalimantan' (1981) membagi Hampatong menjadi dua, yakni Hampatong
kecil dan besar. Menurutnya, Hampatong adalah patung-patung yang dipahat dari
kayu atau tulang, yang menggambarkan manusia, hewan dan mahluk-mahluk yang
menakutkan. Patung-patung ini digunakan untuk berbagai tujuan dalam sistem
religi Dayak.
Patung kayu Hampatong besar terdiri dari tajahan dan pataho. Tajahan
selalu dikaitkan dengan maut, yaitu pesta tiwah atau dengan pengayauan.
Masing-masing menggambarkan orang-orang mati yang dipestakan pada tiwah
tersebut, dan korban-korban pengayauan.
Pataho adalah hampatong yang berfungsi sebagai penjaga kampung.
Kelompok patung lain dibentuk oleh Sapundu, yaitu yang dinamakan tiang-tiang
korban tempat para budak korban di masa lampau, dan saat ini diganti kerbau,
diikat selama pesta tiwah berlangsung, dan kemudian disiksa hingga mati.
Selain itu masih ada yang belum disebutkan oleh Jacob Vredenbregt dalam
kelompok Hampatong besar yakni Belontang dan Pantak.
Dalam buku Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Timur disebutkan, patung Belontang yaitu patung yang dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan upacara, baik upacara itu bersifat kehidupan seperti belian ngugu tahun, maupun yang bersifat kematian misalnya kenyu dan Kwangkai pada suku Dayak Tunjung dan Suku Benuaq.
Dalam Jurnal Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang terdapat artikel berjudul ‘PATUNG PANTAK DAYAK KANAYATN: Kajian Bentuk dan Fungsi dalam Perubahan Sosial Budaya’. Dalam artikel itu disebutkan, Patung Pantak berwujud seperti manusia seutuhnya tanpa menghilangkan bentuk lain dari bentuk manusia itu sendiri. Menurut sejarahnya, patung Pantak merupakan simbolisasi leluhur nenek moyang Suku Dayak Kanayatn yang mempunyai kedudukan dalam suatu wilayah, yang dimaksud kedudukan dalam hal ini yaitu leluhur nenek moyang yang menjadi tokoh masyarakat dalam suatu desa.
Awalnya penemuan Patong dari Gunong Kurak dianggap sebagai yang pertama dalam sejarah Belitong. Namun dalam sebuah penelusuran kami pada Rabu (15/12/2021) ditemukan sebuah laporan pada era kolonial Belanda. Laporan tersebut dimuat dalam buku Notulen van de algemeene en bestuurs-vergaderingen. Bataviaasch genootschap van kunsten en wetenschappen (Risalah rapat umum dan dewan. Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia) tahun 1875. Dalam laporan tersebut diketahui bahwa pada tahun 1875 Asisten-Residen Belitung Ecoma Verstege menghibahkan sejumlah koleksinya kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, pelopor Museum Gajah dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
"Museum etnografi berutang budi pada Tuan Ch. M. G. A. M. Ecoma Verstege dalam akuisisi: a.patung kayu ulin yang ditemukan di tambang Belitung; b. dua piring dan mangkuk, juga dari lokasi tambang," demikian kutipan dalam laporan tahun 1875 tersebut.
Laporan ini menunjukkan bahwa patung dari kayu ulin juga pernah ditemukan pada era kolonial di Belitung. Bahkan patung tersebut juga ditemukan di lokasi tambang. Bedanya, patong dari Gunong Kurak ditemukan di lokasi tambang pasir kwarsa. Sedangkan patong tahun 1875 ditemukan di lokasi tambang timah. Sayang tidak ditemukan keterangan lain mengenai patong tahun 1875 ini.
Penelusuran lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui keberadaan patong dari Belitong yang dihibahkan tahun 1875. Namun tampaknya jejak patung tersebut menghilang. Sebab namanya tidak dicatat dalam katalog Museum etnografi periode 1875 dan seterusnya. Ke mana patung itu sekarang? Semoga dalam penelusuran selanjutnya bisa kita temukan jawabannya.(*)
Penulis : Wahyu Kurniawan
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber: petabelitung.com
Foto: Patong dari Gunong Kurak di Museum Pemkab Belitung. Yang tengah adalah posisi terakhir di rumah Dukun Kampong Gunong Kurak. Wahyu Kurniawan, 2021.